Senin, 11 Juni 2012

Di Dalam Bus Hiba Putra

Di dalam bis tanpa AC yang sopir dan kernetnya selalu asyik ngobrol memakai bahasa sunda ini, di tengah deru mesin yang mengencang mengendur berganti-ganti, di tiap kelokan tajam dan ngarai-ngarai sempit sepanjang propinsi Sumatera Selatan, Lampung, DKI Jakarta, sampai Jawa Barat, kubayangkan aku sedang pergi berperang demi kemerdekaan kita nanti, sayang.

Jika sekarang aku dimiliki orang, dan kau milik orang, maka kelak kau milikku dan aku milikmu.

Mengenang Nenek

Tadi malam, Minggu 10 Juni 2012 sekitar pukul 22.00 WIB nenek sudah berpulang.

Kalau saya menghitung-hitung dengan data yang saya punya saat kakek meninggal di tahun 1996 dulu, mestinya nenek sekarang berusia 93 tahun, dan beliau mungkin lahir di sekitar tahun 1919. Tampaknya tak ada yang tahu persis mengenai ini. Tapi mungkin justru data legal itu ada dan terpelihara dengan baik, setidaknya di akta pernikahan beliau dengan kakek, kalau masih ada, atau di data yang dimiliki Perum Tabungan Pensiun.

Nama asli nenek semisterius tanggal lahirnya. Mungkin tidak misterius sebenarnya, lagi-lagi hanya saya yang kekurangan data. Oleh tetangga-tetangga yang sepuh, dulu beliau terkadang dipanggil dengan namanya: Amah. Kakek pun suatu kali pernah saya dengar memanggil namanya demikian. Suatu waktu ibu saya pernah bertutur kalau nama pemberian dari orangtua nenek yang sebenarnya adalah Nyi Mamah.

Nenek lahir di Cicalengka, Bandung, Jawa Barat. Pada usia belia, beliau dan seorang kerabatnya diberangkatkan dari kampungnya menuju 'tanah harapan', Tanjung Enim. Perjalanan ini adalah perjalanan takdir bagi hidup nenek, karena merupakan perantauan sekaligus perjodohannya. Lagi-lagi berdasarkan hitung-hitungan data yang saya punya, saya menebak usia nenek saat itu pasti tidak lebih dari dua puluh tahun.

Nenek berangkat ke Tanjung Enim dengan misi untuk dipertemukan dengan calon suaminya yang belum pernah ia kenal. Di Tanjung Enim, Nenek Amah menikah dengan kakek. Sedangkan Nenek Nenci, kerabat nenek yang disebutkan di muka, menikah dengan Kakek Muroji. Kedua pasangan ini kemudian hidup menetap sampai beranak cucu dan cicit di tanjung Enim. Seperti semua orang di Tanjung Enim saat itu, Kakek Sidik dan Kakek Muroji menggantungkan hidup dengan bekerja di pertambangan batubara yang saat itu masih dikelola pemerintah Hindia Belanda.

Di mata saya, nenek tipikal wanita Sunda dewasa yang sangat pengemong, punya insting yang kuat untuk melindungi keluarga, meskipun eksesnya adalah punya sifat agak cerewet.

Saya sendiri sudah mulai menyadari 'kehadiran' nenek dalam hidup saya sejak usia dini. Konon menurut nenek, di usia bawah tiga tahun saya sudah sering ditinggal kedua orangtua bekerja, sehingga sehari-harinya menjadi asuhan nenek. Tak heran sampai remaja, sampai saat di mana saya harus meninggalkan Tanjung Enim, saya sangat lengket dengan kakek dan nenek. Kedua orang tua yang yang hampir tak pernah memarahi saya ini seolah dua sosok malaikat yang selalu menyediakan diri mereka hadir sebagai peneduh dan penentram hati dan jiwa, kapan pun saya membutuhkan keteduhan itu.

Di usia sekolah, saya menjadikan rumah nenek sebagai rumah kedua, tempat rekreasi utama, dan segalanya. Dalam sehari, enam puluh persen waktu yang saya miliki di rumah pasti saya habiskan di rumah nenek.

Memacul tanah yang keras untuk menanam singkong, merawat dan memanen berbagai tanaman dan sayuran di petak kebun, adalah keseharian berharga seorang anak desa yang terus terang tak dialami oleh semua anak seusia saya saat itu, bahkan yang sama-sama tinggal di desa pun. Bersama kakek dan nenek, salah satu sistem molekul di dalam kimia tubuh saya telah tumbuh secara unik, menjadikan pribadi seorang anak desa yang agraris. Sepiring singkong rebus yang ditumis dengan campuran irisan bawang merah dengan teh panas menemani kakek dan nenek mengobrol menutup waktu ashar adalah memorabilia abadi yang tak pernah tanggal dari benak saya sampai kapan pun. Jangan lagi ajari saya makna kesederhanaan dan kebijaksanaan, ketika nenek telah jauh-jauh hari menanam benihnya di dalam sanubari saya sejak dini.

Sebagai manusia, saya dapat saja kapan pun menciptakan memorabilia ini secara sepihak di dalam benak sendiri, dengan mencatut nama nenek, lalu membaginya kepada orang lain. Tapi sejujurnya haru-biru kenangan di atas bukan lahir semata sebagai kreasi saya, melainkan juga tutur yang selalu diulang dan diulang di berbagai kesempatan oleh nenek. Berkali-kali sejak saya kecil sampai saat terakhir kali saya pulang ke Tanjung Enim lima tahunan lalu, nenek mengenang lagi soal keterikatan batin dengan saya, yang dilatari masa-masa pengasuhan tersebut. Hal yang tak pelak membuat saya sangat terpukul dan berduka mendalam hari ini.

Jumat, 08 Juni 2012

Sejak Kaubenci

oleh: Slank

Setiap hari ku hanya bermain
Setiap hari ku slalu di sini
Setiap malam kurasakan tinggi
Setiap malam hanya ada sepi


Kau tak seperti yang dulu lagi
dan kau tak peduli
Kau tak seperti yang dulu lagi
dan kau tak peduli


& ku sedih... bila engkau...
Pergi... menjauh...
& ku sedih... bila engkau...
Pergi... menjauh...


Sejak kau.. Sejak kau..
Sejak kau.. Sejak kau..
Benci !!!

Rabu, 06 Juni 2012

SD Negeri No. XIV Tanjung Agung, Dalam Kenangan

Tahun 1989 saya mendaftar di sekolah dasar ini.

Letak sekolah ini ada di tepi Jalan Lintas Sumatera. Kalau kamu datang berkendaraan dari arah Jakarta menuju Medan, sekolah ini ada di sebelah kanan jalan. Tidak persis di tepi jalan, melainkan agak masuk sedikit. Yang persis di tepi jalan adalah halaman sebuah rumah makan masakan padang, dulu namanya Rumah Makan Sahabat. Jadi untuk menuju ke gerbang sekolah, harus melalui jalan masuk rumah makan dahulu.

Sayang sekali saya tidak punya barang satu lembar pun fotonya. Tapi berikut ini dapat saya gambarkan denah sekolah ini dalam keadaannya sekitar tahun 93-94:

[maaf browser belum support, gambar menyusul]

Di sekolah ini, setiap satu guru mengawal satu kelas sepanjang tahun. Jadi di setiap kelas semua pelajaran diajar hanya oleh satu guru. Kelas satu diajar Bu Rita. Kelas dua diajar Bu Rohima. Kelas tiga oleh Bu Mala. Kelas empat oleh Bu Lilik. Kelas lima oleh Pak Syarif. Dan kelas enam oleh Bu Beti.

Hanya saat pelajaran olahraga dan pelajaran Agama, gurunya ganti.