Jumat, 24 Juni 2011

Gajah Mada Lahir dan Moksa di Liya, Wakatobi

GAJAH MADA/Ft:informasibudayliya.blogspot.com

Pulau Buton di wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara dalam catatan sejarah, pernah menjadi tempat pilihan perlindungan yang aman dari sejumlah bangsawan kerajaan ternama di Nusantara. Bahkan dalam penelusuran terakhir, ditemukan petunjuk dari sejumlah catatan dan bukti arkeolog, Pulau Wangiwangi yang dulunya masuk wilayah Buton dan kini menjadi Kabupaten Wakatobi justru tempat lahir dan moksanya Gajah Mada, Mahapatih Kerjaaan Majapahit yang terkenal dengan ‘Sumpah Palapa’ - Pemersatu Nusantara.

Lembaga adat Forum Komunikasi (Forkom) Kabali yang dibentuk sejak 6 Desember 2009 di Kabupaten Kepulauan Wakatobi, kini begitu konsen mengumpulkan data dari berbagai sumber, bukti arkeolog, dan berupaya keras menjalin kerjasama dengan semua pihak terkait untuk membuka tabir emas adanya petunjuk perjalanan hidup Gajah Mada di Pulau Wangiwangi.

Sejarah nasional mencatat bagaimana Mahapatih Kerajaan Majapahit yang diperkirakan lahir pada tahun 1290 (Encarta Encylopedia) itu memiliki kemampuan strategi di medan perang serta kecerdasan berpikir untuk kemaslahatan kehidupan masyarakat yang luas di masanya. Tapi, dimana tempat wafat dan makamnya, hingga saat ini belum ada keterangan yang pasti.

Dari sejumlah catatan yang telah dihimpun Forkom Kabali, sekitar bulan Sya’ban 634 Hijriyah atau akhir tahun 1236 Masehi sebuah kapal layar Popanguna menggunakan simbol bendera Buncaha strep-strep warna Kuning Hitam merapat di Kamaru, wilayah pesisir arah utara timur laut Pulau Buton. Kapal tersebut memuat bangsawan bernama Simalaui dan Sibaana (bersaudara) dikawal seorang sakti mandraguna bernama Sijawangkati bersama puluhan pengawalnya, yang diperkirakan berasal dari Bumbu, negeri melayu Pariaman.

Kedatangan mereka ke Pulau Buton diperkirakan lantaran terjadi pergolakan yang memaksa untuk meninggalkan tempat asalnya. Terbukti, setelah mereka membuat pemukiman di Kamaru, juga membangun sebuah perlindungan yang hingga kini dikenal dengan sebutan Benteng Wonco. Sijawangkati pun kemudian memohon diri untuk membuat pemukiman tersendiri di Wasuembu serta membuat Benteng Koncu di Wabula.

Masjid Al-Mubaroq Keraton Liya/Ft:informasibudayaliya.blogspot.com

Syahdan, beberapa waktu kemudian datang lagi dua buah kapal yang diburitannya ditandai dengan kibaran bendera Davialo berwarna Merah Putih di Teluk Kalumpa, tak jauh dari tempat pendaratan Simalaui, Sibaana, dan Sijawangkati dan rombongannya. Sijawangkati dan Sitamanajo menyambut kedatangan mereka. Ternyata, kedua kapal tersebut membawa Raden Sibahtera, Raden Jatubun dan Lailan Mangrani yang kesemuanya merupakan anak dari Raja Kerajaan Majapahit, Raden Wijaya. Setiap kapal memuat sekitar 40 orang pengikut.

Singkat cerita, kehadiran para pendatang tersebut, selain berupaya menjalin keakraban dengan warga di sekitar Pulau Buton, juga di antara pendatang saling menguatkan persahabatan. Raden Sibahtera yang diangkat menjadi Raja Buton mempermaisurikan Wa Kaa Kaa (Mussarafatul Izzati Al Fahriy). Sedangkan Sijawangkati menyunting Lailan Mangrani (Putri Raden Wijaya).

Dari perkawinan Sijawangkati dengan Lailan Mangrani membuahkan keturunan 2 anak laki-laki dan 1 perempuan. Anak tertua lelaki itulah yang kemudian diberi nama Gajah Mada. Sejak kecil Gajah Mada telah memperlihatkan kecerdasan dan kesaktian. Ayahnya, Sijawangkati yang disebut-sebut keturunan wali di negeri Melayu terkenal memiliki ilmu-ilmu kesaktian sudah berupaya menurunkan ilmunya kepada Gajah Mada sejak berusia 7 tahun. Ketika berumur sekitar 15 tahun, Gajah Mada lalu dibawa oleh ibunya (Lailan Mangrani) menemui kakeknya Raden Wijaya di Pulau Jawa.

Tatkala Kerajaan Majapahit dipimpin Jayanegara (1309 - 1328 M) — anak Raden Wijaya dari perkawinan dengan Dara Petak dari Jambi, Sumatera, Gajah Mada pun tampil berperan membantu melawan pemberontakan yang muncul dari lingkungan kerajaan sendiri. Dia memimpin pasukan Bhayangkara bertugas menjaga keamanan raja dan keluarganya.

Dahsyatnya Pemberontakan Kuti (1319 M) yang dipelopori salah seorang pejabat Kerajaan Majapahit, sampai memaksa Raja Jayanagara, berikut istri Raden Wijaya dan putrinya Tribhuwanattunggadewi, Gayatri, Wiyat, dan Pradnya Paramita mengungsi ke Bedander. Akan tetapi berkat kecerdikan dan kepiawaian Gajah Mada, pemberontakan dapat diredam. Raja dan keluarganya pun aman untuk kembali bertahta ke istana.

Tarian adat Liya di alun-alun masjid Keraton Liya/Ft:informasi budayaliya.blogspot.com

Pascaperistiwa tersebut Gajah Mada kemudian diangkat menjadi Menteri Wilayah (Patih) Majapahit, membawahi Daha dan Jenggala. Kepercayaan kepada Gajah Mada yang diberi gelar Pu Mada diperluas dengan kewenangan hingga Jenggala - Kediri yang meliputi Wurawan dan Madura. Setelah Mahapatih Kerajaan Majapahit Arya Tadah pensiun tahun
1329 M, kedudukannya digantikan oleh Gajah Mada.

Dari catatan yang dihimpun Forkom Kabali (www.informasibudayaliya.blogspot.com), ada yang menyebut Gajah Mada wafat 1364 akibat penghianatan Hayam Wuruk. Namun data lain yang dihimpun dengan sejumlah fakta pendukung, setelah Gajah Mada membaca gelagat pihak berkuasa di Kerajaan Majapahit tak lagi memberikan kepercayaan kepadanya, ia bersama sejumlah pengikut setianya melakukan pelayaran kembali ke tempat kelahirannya di wilayah kepulauan Wangiwangi, Buton.

Perjalanan pulang bersama rombongannya tersebut diperkirakan terjadi sekitar abad XI, mendarat kembali di wilayah kepulauan Wangiwangi. Di pesisir pantai antara pelabuhan Sempo Liya dan Pulau Simpora terdapat Batu Parasasti yang dinamakan Batu Mada. Mahapatih Gajah Mada yang terkenal sebagai manusia memiliki banyak kesaktian tersebut kemudian memilih sebuah goa di wilayah Togo Mo’ori sebagai tempat Tapa Brata. Di dalam gowa di daratan Pulau Karang Wangiwangi yang bersambung ke laut lepas inilah diperkirakan Gajah Mada yang mengenggam cakram senjata andalannya lantas moksa (menghilang) dalam semedi. Sedangkan puluhan pengikutnya memilih sebuah gua di Batauga, Pulau Buton sebagai tempat semedi. Goa itu sampai sekarang masih dinamai sebagai Goa Mada di Kampung Mada Desa Masiri, Batauga.

Himpunan informasi berkaitan dengan perjalanan hidup Gajah Mada yang kini mendapat perhatian dari Forkom Kabali tersebut, tentu saja, perlu mendapatkan apresiasi dari pemerintah, dan terutama dari para sejarawan dan antropolog dalam rangka penyempurnaan catatan Sejarah Nasional kita.

Selain mengenai perjalanan hidup Gajah Mada, kini Forkom Kabali yang memokuskan diri di bidang pelestarian nilai-nilai tradisi, sejarah dan budaya Keraton Liya di Kabupaten Wakatobi, juga telah menghimpun data jika Mahisa Cempaka (cucu dari pasangan Ken Arok dan Ken Dedes) merupakan Raja Liya (1259 - 1260). Gundukan batu yang ditinggikan (Ditondoi) yang ada di depan Masjid ‘Al Mubaraq’ Keraton Liya adalah makam Mahisa Cempaka yang pernah bersama Rangga Wuni memimipin pemerintahan di Kerajaan Singosari di Pulau Jawa.

Di bawah gundukan batu Ditindoi yang di sekelilingnya ditumbuhi banyak Pohon Cempaka (Kemboja) yang telah berusia sekitar 800 tahun, diperkirakan terdapat sekitar 5 anggota dinasti Ken Arok, selain Mahisa Cempaka yang dimakamkan disitu. Model penguburan satu liang terdiri atas beberapa anggota keluarga, hingga saat ini masih terus terjadi di wilayah Liya, Wangiwangi.

Fakta ini, tentu saja, kebenarannya akan memberikan nuansa baru terhadap gambaran hubungan dan dinamika pergerakan masyarakat kerajaan-kerajaan Nusantara di masa lalu. Batapa masyarakat dari Pulau Jawa sejak masa silam dengan sarana transportasi tradisional sudah dapat menjalin hubungan dengan warga di Kepulauan Wakatobi yang terhampar di Laut Banda, di arah tenggara Pulau Sulawesi. Dibandingkan saat ini, Presiden RI, SBY belum juga pernah berkunjung mememenuhi hasrat kerinduan banyak warga di kota atau kabupaten yang ada di sekitar Pulau Buton terhadap kehadiran Kepala Negara di wilayahnya.

Selain itu, berdasarkan himpunan informasi dan sejumlah bukti arkeolog, jauh sebelum dibangun Masjid ‘Al-Mubaraq’ Keraton Liya (1546 M), sudah ada sebuah masjid di wilayah Liya Togo dikenal dengan nama Masjid Togo Lamantanari. Masjid itu diperkirakan dibangun tahun 1238 M oleh 8 orang Persia dipimpin Haji Muhammad yang terhempas gelombang ke Pulau Wangiwangi setelah kapalnya remuk melabrak karang dalam pelayaran menuju Filipina. Tentu saja, ini merupakan masjid tertua di Indonesia, sudah ada sebelum agama Islam masuk ke Aceh pada abad XIII. Walaupun masjid sudah tiada, sampai hari ini, pada saat waktu shalat dhuhur dan masuk waktu shalat ashar setiap hari masih selalu terdengar suara kumandang azan dari sekitar lokasi masjid tua ini.

Kumandang azan yang sama sampai saat ini masih selalu terdengar dari sekitar makam H.Muhammad yang terletak di sekitar permandian Kohondao Liya Togo, Desa Woru, sekitar 800-an meter dari lokasi bekas masjid tua Togo Lamantanari.

Ada lima desa yang disebut dengan istilah ‘Liya Besar’, yakni Desa Liya Togo, Liya Bahari, Liya Mawi, Woru, dan Mola di Pulau Wangiwangi yang kini menjadi bagian paling penting diperjuangkan oleh Lembaga Forkom Kabali untuk dijadikan sebagai Kawasan Desa Adat. Di dalamnya meliputi pelestarian Benteng Liya dengan perkampungan masyarakat adatnya yang meliputi luas hingga 20 km persegi.

Terjalinnya hubungan antara raja-raja yang ada di Pulau Jawa dengan raja-raja khususnya yang ada di Liya dan sekitarnya pada masa lalu, salah satunya juga dapat dilihat dari sejumlah nama tempat yang banyak menggunakan bahasa sangsekerta (Sanskrit).

Mahaji Noesa, KOMPASIANA Kompas.Com, 01 April 2011 | 09:15 440 15

Rabu, 15 Juni 2011

Jalan Makadam

Tahukah Anda jalan makadam? Yaap, jalan dari batu pecah yang diatur padat lalu ditimbuni kerikil, hingga permukaannya keras. Tapi, jangan salah sebut dengan Makodam, itu mah beda banget. Nama makadam berasal dari nama penggagasnya yaitu John Loudon McAdam (1756 - 1836). Makadam lahir berkat semangat untuk membangun lebih banyak jalan. Maka, perlu cara membuat jalan secara cepat dengan biaya tidak terlalu tinggi. Makadam diakui sebagai pembuka jalan kemajuan konstruksi jalan.

Di akhir abad XIX seiring dengan makin banyaknya pemakai sepeda, jalan yang mulus semakin dituntut. Tahun 1824 untuk pertama kali jalan beraspal dibuat, cuma dengan menaruh blok-blok aspal. Jalan bersejarah itu di Champ-Elysees, Paris.

Selanjutnya, hadir jalan beton semen portland di Skotlandia pada 1865. Meski lebih kuat, jalan beton mudah retak. Sedangkan aspal punya kelebihan sebagai pengikat yang tahan air dan plastis alias memiliki kemampuan "kembang-susut" yang baik terhadap perubahan cuaca.

Aspal telah dipakai sejak masa sangat awal. Peninggalan dari sekitar milenium 3 SM di Mohenjo-daro, Pakistan, berupa penampung air dari batu bata yang bertambalkan aspal adalah buktinya.

Aspal jalan modern adalah hasil karya imigran Belgia Edward de Smedt di Columbia University, New York. Tahun 1872, ia sukses merekayasa aspal modern dengan kepadatan maksimum. Aspal itu pertama kali dipakai di Battery Park dan Fifth Avenue, New York, tahun 1872 dan Pennsylvania Avenue, Washington, D.C. tahun 1877. Kini, sedikitnya 90% jalan utama di perkotaan selalu memanfaatkan aspal.

Jangan bandingkan kondisi itu dengan keadaan jalan pertama, yang muncul sekitar tahun 3000 SM. Jalan itu masih berupa jalan setapak, dengan konstruksi sesuai kendaraan beroda masa itu. Letaknya diduga antara Pegunungan Kaukasus dan Teluk Persia.

Lalu dibangunlah jalan yang menghubungkan Mesopotamia - Mesir, selain sebagai fasilitas perdagangan, juga pertukaran budaya. Jalan utama pertama adalah Jalan Bangsawan Persia, yang terentang dari Teluk Persia hingga Laut Aegea sepanjang 2.857 km. Jalan ini bertahan dari tahun 3500-300 SM.

"Jalur Kuning" adalah jalan tertua di Eropa yang berawal di Yunani dan Tuscany hingga Laut Baltik. Di Asia Timur bangsa Cina membangun jalan yang menghubungkan kota-kota utamanya, bila digabung panjangnya mencapai 3.200 km.

Jalan memegang peran penting atas kelangsungan suatu bangsa, itu diakui Bangsa Romawi kuno. Tak heran mereka banyak membangun jalan. Di puncak kejayaannya Romawi telah membangun jalan sepanjang 85.000 km! Itu terbentang mulai Inggris di utara hingga Afrika Selatan, dan dari pantai Samudera Atlantik di Peninsula Iberian di barat hingga Teluk Persia di timur.

Teknik membangun jalan pun amat beragam. Di Eropa Utara yang repot dengan tanah basah serupa "bubur", dipilih jalan kayu. Gelondong kayu dipasang di atas lapisan ranting, lalu di atasnya disusun kayu secara melintang berpotongan untuk melalui ranjau "bubur" itu.
Di Kepulauan Malta ada bagian jalan yang ditatah agar kendaraan tak meluncur turun. Sedangkan masyarakat di Lembah Indus sudah membangun jalan dari bata yang disemen dengan bituna (bahan aspal) agar tetap kering.

Namun, bangsa Romawilah penemu konstruksi jalan secara ilmiah. Jalan-jalan yang berciri khas lurus-lurus itu terdiri atas empat lapis. Yang pertama adalah hamparan pasir atau adukan semen, lalu lapisan batu besar datar, disusul lapisan kerikil dicampur kapur, terakhir lapisan tipis permukaan dari lava yang seperti batu api. Ketebalan jalan itu 0,9 - 1,5 m. Rancangan mereka termasuk yang tercanggih sebelum muncul teknologi pembuatan jalan modern di akhir abad XVIII atau awal abad XIX. Sayangnya, jalan itu rusak saat Romawi mulai runtuh.

Sumber: http://asal-usul.blogspot.com

Majapahit Tidak Menguasai Seluruh Nusantara

Jakarta (ANTARA News) - Kerajaan terbesar Indonesia Majapahit ternyata tidak menguasai seluruh Nusantara apalagi kawasan Asia Tenggara seperti Malaysia, Filipina dan Siam Selatan (Thailand).

"Tidak seperti apa yang ada di buku-buku pelajaran selama ini, daerah-daerah di Nusantara merupakan daerah merdeka dan berkedaulatan bukan daerah kekuasaan Majapahit," kata arkeolog Hasan Djafar yang juga penulis buku "Masa Akhir Majapahit" pada diskusi bertajuk "Majapahit: Masa Awal, Pencapaian, dan Masa Akhir" di LKBN ANTARA akhir pekan lalu.

Kekuasaan Majapahit, katanya, hanya meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura dan Bali dan saat itu ada kerajaan kuat juga di Nusantara yaitu kerajaan Melayu.

Kerajaan Majapahit yang didirikan oleh Raden Wijaya saat itu hanya sebuah kerajaan adikuasa dan disegani kerajaan-kerajaan sekitar bukan karena daerah jajahannya.

"Majapahit hanya sebuah kerajaan yang dihormati kerajaan-kerajaan sekitar karena kesuksesannya mengolah perekonomian dan menjadi contoh kerajaan-kerajaan sekitar dan saat itu Majapahit terkenal akan negara agraris ekonomis dan maritim," katanya.

Majapahit disegani kerajaan sekitar karena mampu menjaga keamanan dan kestabilisan regional dan memiliki pengaruh luas di Nusantara. Majapahit juga mempunyai kerjasama dengan Kerajaan Melayu yang dipimpin oleh Raja Adityawarman yang beribukota di Dharmawangsa (Sumatra Barat).

"Majapahit sebagai kerajaan adi kuasa berkewajiban melindungi daerah-daerah di Nusantara demi kelangsungan kerjasama regional," katanya.

Majapahit pun kerap melakukan perdagangan dengan daerah-daerah sekitar seperti Banda, Ternate, Ambon, Banjarmasin dan Malaka.

"Pernah ada pertukaran prasasti bernama Amoghapasa antara kedua kerajaan sebagai simbol bentuk kerjasama," kata Hasan Djafar yang juga ahli epigrafi dan sejarah kuno Indonesia.

Djafar juga mengemukakan pemahaman salah selama ini yang menyebutkan berbagai kerajaan lain di Nusantara memberikan upeti atau pajak ke Majapahit. "Kerajaan-kerajaan itu hanya memberikan hadiah bukan upeti dan wajar kerajaan memberikan hadiah ke negara kuat saat itu," katanya.

Ketika ditanya kebenaran sumpah amukti palapa yang dikumandangkan Gadjah Mada ketika dilantik Ratu Majapahit Tribhuwana Tunggadewi menjadi Patih Majapahit bahwa ia tidak akan memakan buah palapa sebelum menguasai nusantara.

"Itu juga salah penafsiran, mukti palapa bukan makan buah palapa tapi saya tidak akan bahagia sebelum menyatukan nusantara," katanya.

"Namun itu masih menjadi perdebatan hingga sekarang karena Gadjah Mada hanya memadamkan pemberontakan di Bali dan Dompo (Sumbawa)," katanya menambahkan.

Kerajaan Majapahit sebagai salah satu kerajaan besar pada zaman Hindu-Budha yang berkembang sejak tahun 1293 - 1519 mencapai puncak perkembangannya pada abad ke-14 pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk yang bergelar Sri Rajasanagara.

Kisah kerajaan Majapahit terdapat dalam kitab Pararaton dalam bahasa Kawi dan kitab Nagarakertagama dalam bahasa Jawa Kuno.

Sejak zaman keemasannya kerajaan Majapahit memiliki 21 daerah yaitu Daha (Kediri), Jagaraga, Kahuripan (Jangala, Jiwana), Tanjunpura, Pajan, Kembanjenar, Wenker, Kabalan, Tumapel (Sinhasari, Senguruh), Sinhapura, Matahun, Wirabhumi, Kelin, Kalingapura, Pandansalas, Paguhan, Pamotan, Mataram, Lasem, Pakembanan dan Pawwanawwan.

(adm/B010)

Editor: Bambang
COPYRIGHT © 2011

AntaraNews.Com, Minggu, 16 Mei 2010 | 23:11 WIB

Gajah Mada Lahir di Lamongan?

Lukisan Gajah Mada

Oleh: Viddy AD Daery *)

Gajah Mada, pahlawan maha besar Nusantara itu lahir di wilayah Lamongan, Jawa Timur? Menjawab pertanyaan itu akan menimbulkan berbagai macam jawaban, kalau ditanyakan ke banyak orang, namun kalau ditanyakan kepada saya, jawaban saya adalah Iya Betul! Karena berbagai macam alasan:

1. Di daerah Modo dan sekitarnya, termasuk Pamotan, Ngimbang, Bluluk , Sukorame dan sekitarnya, tersebar folklor atau cerita rakyat. Dongeng dari mulut ke mulut, mengisahkan bahwa Gajah Mada adalah kelahiran wilayah Modo situ.

2. Daerah Modo-Ngimbang-Pamotan-Bluluk dan sekitarnya memang ibukota sejak zaman Kerajaan Kahuripan Airlangga, bahkan anak-cucunya juga mendirikan ibukota di situ, karena strategis, alamnya bergunung-gunung, bagus untuk pertahanan, dan dekat dengan Kali Lamong yang merupakan cabang utama Sungai Brantas. Sudah begitu, ada jalan raya Kahuripan-Tuban yang dibatasi Sungai Bengawan Solo di pelabuhan Bubat ( kini bernama kota Babat ). Ibukota ini baru digeser oleh cicit Airlangga ke arah Kertosono-Nganjuk, dan baru di zaman Jayabaya digeser lagi ke Mamenang, Kediri. Selanjutnya oleh Ken Arok digeser masuk lagi ke Singosari. Baru oleh Raden Wijaya dikembalikan ke arah muara, yaitu ke Tarik, namun anaknya yang akan dijadikan penggantinya, yakni Tribuana Tunggadewi, diratukan di daerah Lamongan-Pamotan-Bluluk lagi, yaitu Kahuripan. Jadi Tribuana Tunggadewi sebelum jadi Ratu Majapahit adalah Bre Kahuripan alias Rani Kahuripan, Lamongan.

3. Ketika Gajah Mada menyelamatkan Raja Jayanegara dari amukan pemberontak Ra Kuti, dibawanya Jayanegara ke arah Lamongan, yakni Badander / bisa Badander Bojonegoro, bisa Badander Kabuh, Jombang, dua-duanya rutenya ke arah Lamongan ( dalam hal ini adalah Pamotan-Modo-Bluluk dsktarnya ). Itu sesuai Teori Masa Anak-anak, di mana kalau anak kecil atau remaja berkelahi di luar desanya, pasti lari menyelamatkan diri ke desanya minta dukungan, tentu karena di desanya ada banyak teman, kerabat maupun guru silatnya. Saya kira Gajah Mada juga menerapkan taktik itu.

4. Di wilayah Ngimbang-Bluluk sampai sekarang ada situs kuburan Ibunda Gajah Mada, yakni Nyai Andongsari.

5. Di dekat situ pula ada situs kuburan kontroversial, karena ada kuburan yang diyakini sebagai kuburan Gajah Mada namun dalam posisi “Islam”, karena kuburannya menghadap ke arah yang persis sebagaimana kuburan orang Islam. Kalau misalnya hal ini benar, maka wajar masa tua Gajah Mada tidak ditulis di babad-babad atau kitab kuno, atau cenderung disisihkan atau dihapus dari sejarah, karena Gajah Mada mungkin dianggap “murtad” atau “semacam itu”.

Pendapat mengenai “Gajah Mada masuk Islam di hari tua” ini tidak mengada-ada, karena seorang kyai terkenal di Jawa Timur keturunan Sunan Drajat, yaitu KH Ghofur dari Pondok Pesantren Drajat, Paciran, Lamongan menyatakan bahwa beliau pernah berdialog secara mistis dengan “ruh” Gajah Mada , dan “ruh Gajah Mada” menyatakan bahwa Gajah Mada masuk Islam di hari tuanya. Benar atau tidaknya hanya Allah yang tahu.

Memperjuangkan pendapat semacam ini tidak mudah. Saya pernah bertamu ke teman-teman saya yang menjadi pejabat tinggi kebudayaan maupun pejabat tinggi pendidikan, tidak ada yang mau membuat seminar nasional mengenai tempat lahir Gajah Mada, entah apa sebabnya, mungkin Cuma karena kemalasan khas pegawai negeri Indonesia saja.

Yang bersedia malahan beberapa budayawan Malaysia, namun sayang rencana itu tertunda-tunda menunggu saat yang baik, padahal dana sudah siap. Biarlah nanti kalau Malaysia sudah siap, biar orang-orang Indonesia bisanya cuma marah-marah karena merasa dilangkahi, sebagaimana sudah sering terjadi.

Maka, untuk perjuangan awal, paling tidak beberapa makalah saya yang saya bacakan di beberapa pertemuan budaya di Singapura, Malaysia dan Brunei sedikit banyak menyebut bahwa Gajah Mada adalah putera kelahiran Lamongan dengan bukti-bukti di atas.

Disamping itu, folklor itu saya sisip-sisipkan ke novel saya “Pendekar Sendang Drajat, Misteri Pengebom Candi Gajah Mada” yang akan terbit dua bulan yang akan datang. Sementara itu, novel saya yang sedang beredar dan cukup laris di pasaran, “Pendekar Sendang Drajat Memburu Negarakertagama” mulai saya arahkan ke arah setting daerah Babat-Modo-Ngimbang-Pamotan.


Pendapat lain

Pendapat lain sudah mengantre tentunya, karena folklor atau naskah “Usana Jawa” dari Bali, mengklaim bahwa GAJAH MADA lahir dari sebuah buah kelapa yang pecah di Bali.... hahahaha...aneh kan?

Naskah lain yang juga dari Bali, yakni “Babad Gajah Mada” mengisahkan bahwa Gajah Mada lahir di Pertapaan Lemah Tulis di Bali. Namun itu hanya tulisan babad atau kidung kuno yang ditulis di zaman pasca Majapahit , sedangkan bukti-bukti lain yang mendukung , sejauh ini belum ada.

Lalu DR. Agus Aris Munandar dari UI berteori bahwa Gajah Mada lahir di Malang, dengan alasan Gajah Mada mendirikan Candi Kertanegara di Singosari Malang. Pendapat ini tentu amat spekulatif, karena mendirikan Candi kan hal biasa yang dilakukan oleh pejabat tinggi yang berkuasa. Bahkan dia berteori bahwa wajah Gajah Mada mirip orang India, bukan seperti wajah “Orang Lamongan” seperti yang diyakini oleh Mohammad Yamin dan sampai kini dijadikan “pendapat umum”.

Teori yang lebih spekulatif dan asal-asalan malah mengatakan, bahwa Gajah Mada lahir di Sumatra, dengan alasan adanya binatang Gajah dan istilah “Mada” hanya ada di Sumatra. Tentunya pendapat ini sangat menggelikan, karena meskipun Gajah asli Sumatra, tapi kan Raja-raja Jawa dapat mendatangkan/membelinya, jadi Gajah bukan hal yang aneh di Jawa. Istilah “Mada” juga ada dalam kosakata Jawa.

Ada juga yang menyatakan, bahwa Gajah Mada lahir di Dompo, Sumbawa, karena di sana ada kuburan Gajah Mada. Tentunya soal kuburan bisa saja dibikin dan diperakukan.

Atau mungkin juga Gajah Mada yang lain, yang bukan di zaman Majapahit, atau tokoh lokal yang kharisma kepemimpinannya mirip tindak tanduk Gajah Mada, meski skopnya tidak Internasional seperti Gajah Mada Majapahit.

Malahan ada juga teori yang menyatakan bahwa Gajah Mada orang Dayak di Kalimantan, karena di wilayah Dayak Krio ada tokoh bernama Jaga Mada yang diutus Demung Adat Kerajaan Kutai untuk menjelajah Nusantara. Namun teori ini dari segi logika hubungan dengan Majapahit sangat lemah. Mungkin juga dia adalah tokoh lokal yang dihormati oleh masyarakatnya setara dengan penghormatan terhadap Gajah Mada Majapahit.

Dan kemudian, ada juga teori yang menyatakan, bahwa Gajah Mada itu mungkin benar lahir di wilayah Pamotan-Lamongan, namun bukan anak Raden Wijaya sebagaimana disebutkan oleh folklor di Modo, akan tetapi lahir dari ibu yang dinikahi Pasukan Mongol yang melarikan diri dari induk pasukannya.

Teori ini agak lemah, karena menurut buku John Man, Pasukan Mongol yang ternyata bukan hanya dipimpin oleh Jendral-jendral Mongol, namun juga disertai oleh Kaisar Mongol sendiri, dibantai habis oleh Pasukan Raden Wijaya dan sisanya melarikan diri ke perahu di pelabuhan Ujung Galuh dan Tuban lalu segera pergi berlayar kembali ke Cina, sudah begitu di Cina mereka dibantai lagi oleh anak petani Cina yang sudah bosan dijajah Mongol lalu memberontak atas bantuan pasukan Majapahit dan kemudian merajakan diri, memerdekakan Cina dari penjajahan Mongol ratusan tahun.

Pendapat ini, menurut budayawan Irawan Djoko Nugroho, sangat sesuai dengan yang dikandung dalam kitab kuno “Tembang Harsawijaya” dan Prasasti Kertarajasa.

Jadi,kalaupun ada sepuluh - tiga puluh orang pasukan Mongol yang mampu menyelamatkan diri lalu lari ke hutan, tentu butuh waktu berpuluh-berbelas tahun baru berani menampakkan diri keluar dari hutan, lalu berani menikahi wanita lokal. Hal itu persis seperti yang dilakukan oleh pelarian pasukan Jepang di zaman perang kemerdekaan Indonesia, dan baru berani muncul dari hutan ketika Indonesia sudah lama merdeka dan melupakan suasana peperangan.

Padahal Gajah Mada lahir hanya setahun dua tahun dari peristiwa pembantaian Pasukan Mongol oleh Pasukan Majapahit. Maka, pasti ibunya tidak dinikahi oleh pasukan Mongol, melainkan oleh pemimpin pasukan Majapahit yang merayakan kemenangan,atau kalau merujuk ke folklor Modo, dinikahi ( semacam nikah siri-lah--istilahnya ) oleh Raden Wijaya sendiri,dalam rangka pesta perayaan kemenangan, karena pertempuran hebat menumpas Pasukan Mongol memang terjadi di wilayah Lamongan.

Namun di atas semua teori dan tafsir sejarah, hanya Allah yang Maha tahu, jadi manusia hanya bisa berteori berdasar alasan-alasan dan data-data yang masuk akal, namun tak berhak mengklaim yang paling benar, wallahu a’lam bissawab, wailaihil marji’ wal ma’ab !!!!

*) budayawan, kolumnis, novelis, penyair, penulis skenario teater dan sinetron.

Oleh: Jodhi Yudono, KOMPAS.COM, Rabu, 15 Juni 2011 | 01:06 WIB

Senin, 13 Juni 2011

Foto-foto dari Kota Muara Enim Dan Sekitarnya, Jilid 2

Taman Serasan, 'bada budak besuke ngan beriang'


Bus Sekolah Gratis milik Pemkab Muara Enim


RSUD dr H. M. Tabain, Muara Enim


Stasiun KA Muara Enim


Masjid Agung & Islamic Centre Muara Enim


Rumah Adat masyarakat Muara Enim


Sumber: http://www.skyscrapercity.com

Foto-foto dari Kota Muara Enim Dan Sekitarnya, Jilid 1

Pesepeda melilingi Kota Muara Enim


Menjelajahi tiap sudut kota Muara Enim


Kawasan Olah Raga (Sport Centre) Serasan Sekundang, Muara Enim


Gadis-gadis Muara Enim


Sumber: http://www.skyscrapercity.com

Stadion Sekundang Bara Bertaraf Internasional

MUARAENIM — Meskipun sarana dan prasarana belum selengkap Stadion Bung Karno maupun Gelora Sriwijaya Jakabaring, namun dari segi kualitas, Stadion Sekudang Bara, terutama lapangan sepakbola bisa disejajarkan dengan stadion bertaraf Internasional. Rumputnya kualitas impor yang menelan dana sekitar Rp 1 Miliar.

“Untuk sarana dan prasarana akan kita lengkapi secara bertahap tergantung kebutuhan. Namun secara umum kita telah penuhi seperti tribun, ruang ganti, loker, ruang rapat dan sebagainya,” ungkap Bupati Muaraenim, Ir Muzakir SS, di dampingi Kadis PU Cipta Karya Muaraenim, Ir Ramlan, Senin (29/11) di sela-sela persiapan peresmian stadion Sekundang Bara oleh Gubernur Sumsel, Alex Noerdin, Selasa (30/11).

Menurut Muzakir, Stadion Sekundang Bara salah satu fasilitas olahraga selain GOR Pancasila di Komplek Sport Centre Muaraenim.

Stadion Sekundang Bara menelan dana sebesar Rp 34.887.000.000 terdiri dari dana hibah PTBA Rp 30,8 miliar dan selebihnya Rp 4 miliar dari APBD Sumsel.

Untuk bangunan Stadion Sekundang Bara seluas 8.103 meter persegi dan kapasitas tempat duduk di tribun sebanyak 4.000 penonton.

Stadion juga mempunyai fasilitas trek lari untuk atletik dan lapangannya menggunakan rumput impor jenis Zoyzya dari Thailand.

“Stadion ini akan bisa menjadi Home Base-nya Persime,” tambah Muzakir.

Menurut Wakil Ketua PSSI Muaraenim, Emir Faizal yang membawahi bidang pembinaan & kompetisi, jika melihat secara keseluruhan kualitas fisik maupun sarana dan prasarana yang telah ada di Stadion Sekundang Bara sudah bisa dimainkan untuk pertandingan ditingkat Divisi I, seperti ukuran lapangan berukuran 105 x 68 meter yang sudah di atas standar PSSI. (ari)


Sriwijaya Post (TribunNews) - Senin, 29 November 2010 20:23 WIB

MAPAN di Sukawana

Tatib-tatib kaos hitam ikutan makan siang bareng 'kaum tersiksa'. si Ike malah ketawa-ketiwi sama junior botak. Leon sama Hadi Sidragon sumringah, siap menghajar

Sandiwara berantem yang bokis dan ngga lucu

Kang Yasin, Ketua HMAK Polban, melantik simbolis dua perwakilan angkatan 2001 sebagai anggota HMAK

Perkebunan Teh Sukawana, Cihideung, Bandung | Pertengahan 2001

Ke Jalan Ganeca, Bandung

Liburan ke Jalan Ganeca, Bandung. Lihat kuda-kuda berjalan-jalan di sepanjang jalan, ditawar-tawarkan untuk disewa dengan harga cukup murah.

Vera, Radli, Dhio dan Mama habis dari Kebon Binatang

Juli 2010.

Minggu, 12 Juni 2011

Pak Harto lagi istirahat kecape`an


Pak Harto kecapaian setelah kunjungan incognito, ia duduk pada sebuah tanah di depan pagar milik rakyat dan berpikir tentang konsep besar bagaimana memakmurkan Indonesia.

Trilogi Suharto: Stabilitas Nasional, Pertumbuhan Ekonomi dan Pemerataan. Tahapan Trilogi ini dijalankan dengan baik oleh Suharto tapi pada fase pemerataan ia keburu dikhianati pengikut-pengikutnya pada tahun 1998.

Postingan Anton Djakarta (Facebook)

Pak Harto lagi makan pisang goreng


Pak Harto makan pisang goreng setelah kunjungan incognito di sebuah pedesaan di Jawa Tengah.

Pak Harto sedang membaca kondisi kesejahteraan masyarakat. Rakyat Rindu Suharto.

Postingan Anton Djakarta (Facebook)

Gudeg Mlekoh Ada di Manggarai

Sebagai orang yang memiliki motherland Jogja… walaupun kelahiran Makassar dan menghabiskan sebagian besar masa edar sebagai manusia di Jakarta, lidah tak pernah bisa dipisahkan dari Gudeg. Ya masakan khas Jogja yang terdiri dari nangka muda yang konondiolah selama 24 jam bersama gula jawa dan aneka rempah lain hingga membuatnya jadi makanan tanpa gizi tapi kelezatannya tak tertandingi. Gudeg an sich tanpa segala macam ubo rampenya seperti tahu-tempe bacem, ayam, telor, aneka jeroan mampu membuat saya termehek-mehek menikmatinya apalagi jika ditambah segala macam ubo rampe itu.

Tapi lidah Jakarta juga selalu berontak atas rasa yang terlalu manis pada sebagian besar Gudeg, jadi manakala ke Jogja -saya tidak selalu bisa menikmati hidangan Gudeg yang ada. Gudeg terlalu manis, gudeg basah dengan kuah santannya tak bisa melewati gerbang mulutku (hehehe), mungkin ini kesombongan seorang pemilih saat supply begitu tinggi. Maka akhirnya saya hanya makan Gudeg yang terletak sepelemparan batu dari Hotel Kumbakarno di Jln. Mangkubumi…kata mbak-ku yang jadi penghuni Jogja karena menikahi pria Jogja…itu jalan Sosrowijayan.

Gudegnya gudeg kering dengan areh yang juga sudah mengering…tak terlalu manis….kalau sedang di Jogja, tiap pagi atau siang saya akan jalan kaki dari rumah keluarga di Bumijo ke situ. Saya tak pernah menyentuh gudeg favorit Bude atau yang disediakan mbak-ku di meja makan…soalnya bukan gudeg Sosrowijayan itu. “Dasar bocah (?) keras kepala,”begitu Bude ku komplain soalnya Bude beli gudeg favoritnya sampe ngenthir jalan sendiri ke daerah Tugu…padahal beliau dah berusia 76 tahun.

Di Jakarta walaupun tak seheboh keberadaan restoran Padang tapi Gudeg juga eksis. Aku cobain dari satu tempat ke tempat lain…yang ngetop seperti Gudeg Matraman bagiku kok ya biasa saja, gudeg di apotek Rahmat - Jln Supomo kata adikku enak tapi bagiku biasa saja. Bahkan warung-warung kaki lima yang menjual gudeg sudah ku satroni termasuk hingga daerah Pondok Labu…pencarianku menemukan jawabannya di suatu rumah makan gudeg yang sederhana tapi rame di daerah Manggarai.

gudeg…menyambut tamu

RM Gudeg ini sudah berdiri sejak tahun 70an saat kawasan Manggarai-Pasar Rumput belum serapi sekarang, mulanya ia hanya merupakan warung senggol di tepian Kali Manggarai bercampur bersama dagangan onderdil sepeda dan barang-barang kelontong yang tergelar sepanjang kali Manggarai. Saat kawasan itu ditertibkan maka seluruh pedagang sepanjang pinggiran kali di pindahkan dan Gudeg Jogja itu menempati bangunan toko permanen tepat di muka Terminal Bis Manggarai dan Pasaraya Manggarai.

Gudeg kering dengan rasa yang tidak terlalu manis sudah disesuaikan dengan lidah warga Jakarta yang heterogen…beberapa lauk dilengkapi dengan santan yang mlekoh dimana santan mlekoh ini ditaburkan juga di atas gudeg….huuuum, sluuurp. Bahkan Eko Patrio terang-terangan di TV pernah memuji Gudeg Manggarai ini.

lauk bersantan

Silahkan menikmati pemandangan lebih jauh dari hidangan yang tersedia:

Aneka lauk Gudeg

Jeroan

Saat kuajak kemari, temanku terperangah melihat baskom-baskom berisi makanan-makanan itu, “Emang tuh makanan bakalan habis,” jangan salah-siangan dikit baskom-baskom itu sudah harus diisi kembali. Karena pembeli selain datang untuk makan di tempat juga banyak ibu-ibu yang membungkus untuk dibawa pulang. Makan disini sangat terjangkau kantong…kami berempat makan gudeg komplit cuman menghabiskan Rp.60 ribu saja….

So tunggu apalagi…buka dari Senin s/d Minggu…Jam 08 pagi sudah buka …Biasanya kalau pagi, Ibu Sepuh si pendiri RM Gudeg ini yang melayani. Siangan dikit beliau istirahat dan digantikan anak-anak perempuannya yang melayani…
buntil juga ada

buntil juga ada

Oleh: Daveena, Kompasiana Kompas.Com, 25 July 2010 | 00:01
www.daveenaar.wordpress.com