Senin, 11 Juni 2012

Di Dalam Bus Hiba Putra

Di dalam bis tanpa AC yang sopir dan kernetnya selalu asyik ngobrol memakai bahasa sunda ini, di tengah deru mesin yang mengencang mengendur berganti-ganti, di tiap kelokan tajam dan ngarai-ngarai sempit sepanjang propinsi Sumatera Selatan, Lampung, DKI Jakarta, sampai Jawa Barat, kubayangkan aku sedang pergi berperang demi kemerdekaan kita nanti, sayang.

Jika sekarang aku dimiliki orang, dan kau milik orang, maka kelak kau milikku dan aku milikmu.

Mengenang Nenek

Tadi malam, Minggu 10 Juni 2012 sekitar pukul 22.00 WIB nenek sudah berpulang.

Kalau saya menghitung-hitung dengan data yang saya punya saat kakek meninggal di tahun 1996 dulu, mestinya nenek sekarang berusia 93 tahun, dan beliau mungkin lahir di sekitar tahun 1919. Tampaknya tak ada yang tahu persis mengenai ini. Tapi mungkin justru data legal itu ada dan terpelihara dengan baik, setidaknya di akta pernikahan beliau dengan kakek, kalau masih ada, atau di data yang dimiliki Perum Tabungan Pensiun.

Nama asli nenek semisterius tanggal lahirnya. Mungkin tidak misterius sebenarnya, lagi-lagi hanya saya yang kekurangan data. Oleh tetangga-tetangga yang sepuh, dulu beliau terkadang dipanggil dengan namanya: Amah. Kakek pun suatu kali pernah saya dengar memanggil namanya demikian. Suatu waktu ibu saya pernah bertutur kalau nama pemberian dari orangtua nenek yang sebenarnya adalah Nyi Mamah.

Nenek lahir di Cicalengka, Bandung, Jawa Barat. Pada usia belia, beliau dan seorang kerabatnya diberangkatkan dari kampungnya menuju 'tanah harapan', Tanjung Enim. Perjalanan ini adalah perjalanan takdir bagi hidup nenek, karena merupakan perantauan sekaligus perjodohannya. Lagi-lagi berdasarkan hitung-hitungan data yang saya punya, saya menebak usia nenek saat itu pasti tidak lebih dari dua puluh tahun.

Nenek berangkat ke Tanjung Enim dengan misi untuk dipertemukan dengan calon suaminya yang belum pernah ia kenal. Di Tanjung Enim, Nenek Amah menikah dengan kakek. Sedangkan Nenek Nenci, kerabat nenek yang disebutkan di muka, menikah dengan Kakek Muroji. Kedua pasangan ini kemudian hidup menetap sampai beranak cucu dan cicit di tanjung Enim. Seperti semua orang di Tanjung Enim saat itu, Kakek Sidik dan Kakek Muroji menggantungkan hidup dengan bekerja di pertambangan batubara yang saat itu masih dikelola pemerintah Hindia Belanda.

Di mata saya, nenek tipikal wanita Sunda dewasa yang sangat pengemong, punya insting yang kuat untuk melindungi keluarga, meskipun eksesnya adalah punya sifat agak cerewet.

Saya sendiri sudah mulai menyadari 'kehadiran' nenek dalam hidup saya sejak usia dini. Konon menurut nenek, di usia bawah tiga tahun saya sudah sering ditinggal kedua orangtua bekerja, sehingga sehari-harinya menjadi asuhan nenek. Tak heran sampai remaja, sampai saat di mana saya harus meninggalkan Tanjung Enim, saya sangat lengket dengan kakek dan nenek. Kedua orang tua yang yang hampir tak pernah memarahi saya ini seolah dua sosok malaikat yang selalu menyediakan diri mereka hadir sebagai peneduh dan penentram hati dan jiwa, kapan pun saya membutuhkan keteduhan itu.

Di usia sekolah, saya menjadikan rumah nenek sebagai rumah kedua, tempat rekreasi utama, dan segalanya. Dalam sehari, enam puluh persen waktu yang saya miliki di rumah pasti saya habiskan di rumah nenek.

Memacul tanah yang keras untuk menanam singkong, merawat dan memanen berbagai tanaman dan sayuran di petak kebun, adalah keseharian berharga seorang anak desa yang terus terang tak dialami oleh semua anak seusia saya saat itu, bahkan yang sama-sama tinggal di desa pun. Bersama kakek dan nenek, salah satu sistem molekul di dalam kimia tubuh saya telah tumbuh secara unik, menjadikan pribadi seorang anak desa yang agraris. Sepiring singkong rebus yang ditumis dengan campuran irisan bawang merah dengan teh panas menemani kakek dan nenek mengobrol menutup waktu ashar adalah memorabilia abadi yang tak pernah tanggal dari benak saya sampai kapan pun. Jangan lagi ajari saya makna kesederhanaan dan kebijaksanaan, ketika nenek telah jauh-jauh hari menanam benihnya di dalam sanubari saya sejak dini.

Sebagai manusia, saya dapat saja kapan pun menciptakan memorabilia ini secara sepihak di dalam benak sendiri, dengan mencatut nama nenek, lalu membaginya kepada orang lain. Tapi sejujurnya haru-biru kenangan di atas bukan lahir semata sebagai kreasi saya, melainkan juga tutur yang selalu diulang dan diulang di berbagai kesempatan oleh nenek. Berkali-kali sejak saya kecil sampai saat terakhir kali saya pulang ke Tanjung Enim lima tahunan lalu, nenek mengenang lagi soal keterikatan batin dengan saya, yang dilatari masa-masa pengasuhan tersebut. Hal yang tak pelak membuat saya sangat terpukul dan berduka mendalam hari ini.

Jumat, 08 Juni 2012

Sejak Kaubenci

oleh: Slank

Setiap hari ku hanya bermain
Setiap hari ku slalu di sini
Setiap malam kurasakan tinggi
Setiap malam hanya ada sepi


Kau tak seperti yang dulu lagi
dan kau tak peduli
Kau tak seperti yang dulu lagi
dan kau tak peduli


& ku sedih... bila engkau...
Pergi... menjauh...
& ku sedih... bila engkau...
Pergi... menjauh...


Sejak kau.. Sejak kau..
Sejak kau.. Sejak kau..
Benci !!!

Rabu, 06 Juni 2012

SD Negeri No. XIV Tanjung Agung, Dalam Kenangan

Tahun 1989 saya mendaftar di sekolah dasar ini.

Letak sekolah ini ada di tepi Jalan Lintas Sumatera. Kalau kamu datang berkendaraan dari arah Jakarta menuju Medan, sekolah ini ada di sebelah kanan jalan. Tidak persis di tepi jalan, melainkan agak masuk sedikit. Yang persis di tepi jalan adalah halaman sebuah rumah makan masakan padang, dulu namanya Rumah Makan Sahabat. Jadi untuk menuju ke gerbang sekolah, harus melalui jalan masuk rumah makan dahulu.

Sayang sekali saya tidak punya barang satu lembar pun fotonya. Tapi berikut ini dapat saya gambarkan denah sekolah ini dalam keadaannya sekitar tahun 93-94:

[maaf browser belum support, gambar menyusul]

Di sekolah ini, setiap satu guru mengawal satu kelas sepanjang tahun. Jadi di setiap kelas semua pelajaran diajar hanya oleh satu guru. Kelas satu diajar Bu Rita. Kelas dua diajar Bu Rohima. Kelas tiga oleh Bu Mala. Kelas empat oleh Bu Lilik. Kelas lima oleh Pak Syarif. Dan kelas enam oleh Bu Beti.

Hanya saat pelajaran olahraga dan pelajaran Agama, gurunya ganti.

Kamis, 31 Mei 2012

Kisah Pemburu Kepala

Mereka memburu kepala musuhnya, tapi mampu hidup damai dengan orang asing.

Sumber: www.microkhan.com, www.artareas.com. Ilustrasi: Micha Rainer Pali

MARCO POLO, avonturir dari Italia, hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya di Perlak, bagian utara Sumatra, pada 1292. Di sana, dia melihat penduduk yang tinggal di pegunungan memakan daging manusia. Sangat berlawanan dengan penduduk yang tinggal di kota Perlak, di mana masyarakatnya lebih beradab, bahkan setelah berhubungan dengan pedagang-pedagang Islam, mereka berpindah dari menyembah berhala menjadi pengikut ajaran Muhammad. Dia menuliskan itu dalam catatan perjalanannya.

Dia tahu catatannya akan mengejutkan, dan mungkin tak dipercaya banyak orang. Karena itu, dia sampai bersumpah untuk meyakinkan pembacanya.

Selang lima bulan kemudian, Marco Polo menuju Pidie, daerah utara Sumatra lainnya. Di tempat ini, dia mendapati satu keluarga menyantap seluruh badan seorang anggota keluarganya sendiri yang mati karena sakit. “Saya yakinkan Anda bahwa mereka bahkan menyantap semua sumsum dalam tulang-tulang orang itu,” tulis Marco Polo dalam “Para Kanibal dan Raja-Raja: Sumatera Utara Pada 1920-an” dimuat dalam Sumatera Tempo Doeloe karya Anthony Reid.

Berbeda dari Marco Polo di Sumatra, dalam naskah Sejarah Dinasti Ming (1368-1643) Buku 323, diceritakan sebuah suku pemburu kepala di Wu-long-li-dan, pedalaman Banjarmasin. Suku pemburu kepala itu disebut orang Beaju –Be-oa-jiu dalam lafal Hokkian (Fujian) selatan–, sebuah suku besar orang Dayak di pedalaman. Mereka berkeliaran saat malam hari untuk memenggal dan mengoleksi kepala manusia. “Kepala ini mereka bawa lari dan dihiasi dengan emas. Para pedagang sangat takut terhadap mereka,” demikian dikutip W.P. Groeneveldt dalam Nusantara Dalam Catatan Tionghoa.

Kala itu, kisah perburuan kepala manusia di wilayah pedalaman tengah dan timur Nusantara telah tersebar luas di kalangan penjelajah dari mancanegara, serupa dengan kisah kanibalisme. Tapi minat mereka terhadap Nusantara tak pernah surut. Kapal-kapal dari pelabuhan penting di Eropa tetap berlayar menuju Nusantara untuk berdagang. Perlahan mereka menjelajah kepulauan Nusantara hingga ke pedalamannya dan bertemu dengan suku pemburu kepala manusia.

Maret 1648. Perang antarkampung telah berlangsung berhari-hari di Seram. Perang itu melibatkan orang-orang kampung di wilayah pantai dan orang gunung yang disebut Alifuru. Meski tak diketahui secara pasti, VOC (Vereenigde Oostindische Campaignie) melaporkan banyak korban tewas. Korban dari pihak wilayah pantai ditemukan tanpa kepala. Gubernur Ambon Robert Padtbrugge mengirim satu tim untuk mengusahakan perdamaian. Selain itu, dia meminta tim untuk meneliti adat berburu kepala orang Alifuru.

Tim kembali ke Ambon tanpa hasil. Perang tetap berkobar. Dan mereka tak bisa menjelaskan secara pasti mengapa orang Alifuru memburu dan mengoleksi kepala musuhnya. “Di hadapan gubernur, tim itu melaporkan hasil penelitiannya mengenai kepercayaan orang Alifuru. Meski mengaku telah bekerja dengan baik, mereka tak berhasil menjelaskannya secara gamblang karena orang Alifuru sangat klenik. Mereka tak bisa memahaminya,” tulis Gerrit J. Knaap dalam “The Saniri Tiga Air (Seram)”, Jurnal KITLV  Vol. 149 No. 2 (1993).

Tim hanya mampu menjelaskan bahwa adat memburu kepala musuh merupakan bagian tak terpisahkan dari ritus hidup orang Alifuru tanpa diketahui kapan mulanya. Bagi orang Alifuru, memburu kepala musuh telah menempati posisi penting dalam kehidupan sosial dan kepercayaannya. Anehnya, adat itu tak mereka lakukan terhadap orang asing, baik Eropa maupun wilayah Nusantara lainnya. Penerimaan mereka terhadap orang asing sangat baik. Bahkan, mereka bersedia merundingkan perdamaian melalui perantara VOC meski usaha itu akhirnya gagal.

Sementara itu, di Sulawesi, perburuan kepala diketahui telah berlangsung sebelum kedatangan orang Belanda. Orang Toraja Bare’e yang bermukim di Sulawesi Tengah selalu mengambil kepala musuhnya dalam tiap peperangan mereka, selama memungkinkan. Mereka harus membunuh dan memotong kepala musuhnya dengan cepat agar musuh tak mengalami penderitaan yang lama.

Kepala musuh kemudian dibawa ke kampung mereka. Upacara pun dilakukan. “Kepala diperlukan sebagai akhir masa berperang dan penahbisan di kuil sebagai tanda seseorang telah menjadi dewasa dan berani,” tulis R.E. Downs dalam “Head-Hunting in Indonesia”, Jurnal KITLV Vol. 111 No. 1 (1995).

Perburuan kepala di Sulawesi masih berlangsung hingga kedatangan orang Eropa. Alfred Russel Wallace, naturalis tersohor asal Inggris, yang mengunjungi Manado pada 10 Juni 1859, mendapatkan cerita itu langsung dari penduduk lokal (Minahasa). Kepala manusia dipakai untuk menghiasi makam dan rumah.

“Mereka berburu kepala manusia layaknya suku Dayak di Kalimantan... Ketika seorang kepala suku meninggal, dua potong kepala manusia yang baru dipenggal digunakan sebagai penghias makamnya... Tengkorak manusia merupakan hiasan yang paling disukai untuk rumah kepala suku,” tulis Wallace dalam catatannya, dimuat dalam Indonesia Timur Tempo Doeloe 1544-1992 karya George Miller.

Walaupun Wallace hidup di tengah penduduk pemburu kepala, Wallace merasa tak terancam. Bahkan, dia justru terkesan dengan karakter mental orang Minahasa. “Mereka juga memiliki karakter mental dan moral yang unik,” tulis Wallace. “Pembawaan mereka tenang dan halus.”

Adat berburu kepala tak selamanya dipertahankan oleh suku-suku pedalaman. Di Borneo misalnya, sebuah perjanjian antarsuku dibuat untuk menghentikan saling bunuh (habunu), memenggal kepala (hakayau), dan memperbudak (hajipen). Perjanjian pada 1894 itu termashyur dengan nama Rapat Damai Tumbang Anoi.

Sebelumnya, beberapa suku di Borneo terkenal sebagai pemburu kepala musuh. Seorang penulis berkebangsaan Norwegia mengukuhkan citra itu melalui bukunya yang terbit pada 1881, The Head-Hunters of Borneo. Dalam bukunya ini, Carl Bock menuliskan suku-suku itu berburu kepala dengan mandau, tombak, dan perisai. Setelah mendapatkan kepala musuh, seseorang berhak mendapatkan tato simbol kedewasaan.

Suku-suku di Borneo memiliki beragam alasan berburu kepala musuh seperti balas dendam, tanda kekuatan dan kebanggaan, pemurnian jiwa musuh, atau bentuk pertahanan diri. Ini karena Borneo dihuni oleh beragam suku sehingga tiap suku memiliki pandangan yang berbeda mengenai ngayau (memburu kepala). “Saya yakin tak ada satu pun analisis yang bisa menjelaskan dengan tepat praktik dan makna-makna perburuan kepala...,” tulis Yekti Maunati dalam Identitas Dayak. “Di kalangan orang-orang Dayak sendiri terdapat berbagai kepercayaan dan mitologi.”

OLEH: HENDARU TRI HANGGORO

http://historia.co.id/artikel/1/958/Majalah-Historia/Kisah_Pemburu_Kepala

Senin, 28 Mei 2012

Lirik Lagu Minang Kutang Barendo Dan Artinya

ilustrasi: kesenian minangkabau (Sumber: http://1.bp.blogspot.com)

Heheheee.. pasti yang bukan orang minang pada penasaran ya dengan arti dari lagu kutang barendo ini. Awalnya juga aku kira lagu ini agak mesum, soalnya ada lirik2 aneh seperti "kutang" dan "babulu" , heheheeee ... Tapi ternyata arti dari lagu ini jauh dari mesum lho. Nih terjemahannya. Terima kasih buat Mbak Anna yg sudah mau menerjemahkan lirik lagu ini:

lailalah kutang barendo: ya iyalah BH yang berenda
nan tampuruang sayak babulu: batok kelapa yg ada serabutnya
lah tamanuang nan tuo-tuo: yang tua-tua hanya bisa termenung
takana mudo nan dahulu: mengingat masa muda dulu


antah manga gadih jo bujang: entah knapa gadis n bujang
lah gilo raun tiok hari: gila jalan2 tiap hari
talingo lah samo basubang: sama2 pake anting2

nan bapakai imitasi: yang di pakai cuma imitasi

lailalah kutang barendo
nan tampuruang sayak babulu
rancak manjadi sopir oto: lebih baik menjadi sopir (daripada jalan-jalan)
tiok bulan bakawan baru: tiap bulan dapat kawan baru

saroman sajo kasadonyo: sama saja semuanya
baiak jantan baiak batino: cowok maupun cewek

jalan sairiang baduo-duo: jalan beriringan berdua-dua
caliak dahulu mako disapo: diliat dulu baru disapa (mungkin jaman sekarang cowok sama cewek udah ga bisa dibedain)

lailalah kutang barendo
nan tampuruang sayak babulu
nan lah malang tibo di ambo: malangnya nasibku

tiok dapek indak katuju: tiap kali pacaran selalu ga cocok
caliak lagak urang kini: liat gaya anak jaman sekarang
antah apo lah namonyo: entah apalah namanya (gaya tersebut)
lah malang nan gadih-gadih: kasian gadis-gadisnya

tiok diawai tiok bapunyo: tiap kali deket tapi dah ada yang punya smua

lailalah kutang barendo
nan tampuruang sayak babulu
lah tamanuang gaek agogo: termenung orang tua2 (maksudnya tua-tua keladi)

takana mudo nan dahulu: teringat masa muda dahulu
saroman sajo kasadonyo: sama saja semuanya
baiak jantan baiak batino: cowok maupun cewek
dek tak tantu ujuang pangkanyo: karna ga tau ujung pangkal perkaranya
sansaro juo jadinyo: sengsara juga jadinya

lailalah kutang barendo
nan tampuruang sayak babulu
alah marandah sarang tampuo: mulai rendah sarang burung tempua

elok dicaliak lah dahulu: bagusnya diliat lebih dahulu

sajak dahulu sampai kini: sejak dulu sampai sekarang
barulah kini mulai tampak: barulah skarang mulai terjadi
lah manjadi bujang jo gadih: bujang sama gadis semakin menjadi2
banyak nan tuo basipakak: yang bikin banyak orang tua jadi bertengkar

Ternyata lagu ini tentang pergaulan anak muda jaman skarang yang semakin berani dan berbeda sekali dibanding pergaulan orang-orang tua jaman dulu. Saya kira tentang supir angkot yang ditinggal istrinya pergi, nggak tahunya artinya berbeda sekali.


Ditulis oleh Nasraul, tulisan asli dapat dilihat pada URL:
http://nasraul.blogspot.com/2010/10/lirik-lagu-kutang-barendo-dan-artinya.html

Rabu, 23 Mei 2012

Urban Legend Uncovered: Pemangsa Misterius Ternak Kambing di Banyumas Tertangkap!

Inilah Sosok Pemangsa 19 Kambing yang Meresahkan Warga Banyumas

Arbi Anugrah - detikNews

Rabu, 23/05/2012 09:59 WIB 

Arbi Anugrah/detikcom

Banyumas Warga Kebocoran berhasil menangkap pemangsa 19 kambing di 5 desa di Kecamatan Kedungbanteng, Banyumas, Jawa Tengah. Dugaan bahwa sang pemangsa ternak adalah adalah penjelmaan orang yang mendalami ilmu kesaktian, terjawab sudah.

Warga bersama pihak kepolisian sejak Selasa (22/5) sore terus mengintai kandang yang dijadikan lokasi penjebakan dengan menggunakan CCTV yang dimonitor dari salah satu rumah warga di dekat lokasi. Binatang yang merupakan anjing tersebut pun masuk jebakan.

"Di monitor CCTV, sekitar pukul 1 malam mulai ada binatang yang masuk ke kandang. Ada dua anjing yang satu hitam dan yang satu putih belang cokelat. Tapi yang hitam belum tertangkap karena tidak masuk perangkap," kata Iwan (38) warga yang ikut melakukan penjebakan kepada wartawan, Rabu (23/5/2012).

Sementara menurut Kapolsek Kedungbanteng AKP Suparno Eka Wijaya hanya satu dari dua anjing yang terjebak dan masuk kedalam lubang jebakan yang telah disiapkan warga.

"Anjing yang masuk kandang yang warna putih. Begitu masuk kandang, anjing tersebut langsung masuk ke lubang dan langsung dijerat tali tambang yang sudah berada di dalam lubang. Namun tali tambang tersebut sempat digigit hingga putus, akhirnya kita tekan badan anjing itu menggunakan tongkat oleh warga dan polisi hingga lemas lalu diikat, baru kita bawa ke lapangan desa," kata Kapolsek.

Menurut dia, dalam mengintai binatang yang sudah meresahkan warga di 5 desa, pihak kepolisian bersama warga menyewa dan meminjam 2 buah CCTV yang dipasang di dua desa yang selama ini dianggap sebagai lokasi binatang tersebut mancari mangsanya.

"CCTV ada dua, yang 1 kita nyewa dan yang 1 kita pinjam. Dua CCTV tersebut dipasang di Desa Kebocoran dan yang 1 lagi dipasang di Desa Karangnangka," jelasnya.

Sementara warga yang mengetahui jika binatang yang selama ini sangat meresahkan warga tersebut tertangkap langsung berbondong-bondong mendatangi lapangan Desa Kebocoran untuk melihat wujud binatang yang diketahui merupakan anjing. Saat ini untuk menghindari makin banyaknya warga yang melihat, anjing tersebut langsung diamankan oleh pihak kepolisian ke Mapolres Banyumas.

Sebelumnya pada Minggu (20/5) binatang yang selama ini dianggap misterius oleh warga sempat memangsa kambing milik warga di Desa Karangnangka, sehingga total binatang ternak yang di mangsa oleh anjing tersebut berjumlah 19 kambing.

Kematian belasan kambing terjadi sejak awal Mei tahun ini. Hewan ternak itu mati dengan perut terburai. Warga resah dan berkembang isu kejadian itu dilakukan seseorang yang sedang mendalami ilmu hitam. Disebut-sebut, pemangsa ternak bernama 'Aul', bahasa lain dari manusia berkepala serigala.
(arb/try)

Ikut Penasaran, Bupati & Kapolres Banyumas Cek Pemangsa 19 Kambing
 
Arbi Anugrah - detikNews

Rabu, 23/05/2012 12:03 WIB

Arbi Anugrah/detikcom

Banyumas Sosok pemangsa 19 kambing milik warga di 5 desa di Kecamatan Kedungbanteng, Banyumas, membuat Bupati Mardjoko dan Kapolres AKBP Dwiyono penasaran. Keduanya langsung mengecek setelah mendapatkan informasi sosok yang meresahkan itu tertangkap.

Bupati dan kapolres tiba di lokasi, Desa Kebocoran, Kecamatan Kedungbanteng, sekitar pukul 11.30 WIB, Rabu (23/5/2012). Mereka disambut 50 warga yang berkerumun sejak pagi.

Bupati melihat-lihat anjing liar yang berwarna putih dan berkepala agak cokelat itu di kandang. Mulut dan kaki hewan yang meresahkan warga selama sebulan terakhir itu, diikat warga.

Tak sepatah katapun keluar dari mulut bupati. Ia yang mengenakan kemeja safari warna cokelat, kemudian meninggalkan lokasi setelah 10 menit di lokasi.

Sebelumnya, warga bersama pihak kepolisian sejak Selasa (22/5) sore terus mengintai kandang yang dijadikan lokasi penjebakan dengan menggunakan CCTV yang dimonitor dari salah satu rumah warga di dekat lokasi. Anjing liar tersebut akhirnya masuk jebakan.

"Ada dua anjing yang satu hitam dan yang satu putih belang cokelat. Tapi yang hitam belum tertangkap karena tidak masuk perangkap," kata Iwan (38) warga yang ikut melakukan penjebakan kepada wartawan.

Kematian belasan kambing terjadi sejak awal Mei lalu. Hewan ternak itu mati dengan perut terburai. Warga resah dan berkembang isu kejadian itu dilakukan seseorang yang sedang mendalami ilmu hitam. Disebut-sebut, pemangsa ternak bernama 'Aul', bahasa lain dari manusia berkepala serigala.

(arb/try)  

Rabu, 16 Mei 2012

Perawan Pantai Sampur

(Mohon dampingi anak anda ketika membaca tulisan panjang ini)

Walaupun tentu bukan konsumsi publik, saya tetap akan bercerita bahwa beberapa waktu ini kami sekeluarga dihadang banyak kesulitan dengan kesehatan. Hingga harus mengungsi ke sebuah dusun di kaki bukit. Alhamdulillah, sekarang semuanya sudah lebih membaik.

Walaupun ini bukan juga hal yang besar. Namun saya bersyukur ketika silaturahmi teman-teman di komunitas seni rupa SERRUM dengan Mat Obeng (mantan selebriti blogger yang membunuh blognya. Bukan nama sebenarnya) secara personal, membuat blog-blog baru hidup. Blog yang menceritakan kehidupan para guru yang mengajar seni rupa hingga blog pribadi para pekerja seni.

Walaupun ketakterbatasan blog adalah hal yang luar biasa. Namun ternyata mampu membuat jeri hati saya ketika membaca surat seorang ibu dari dua putra;

“Mas Arif, putra sulung saya sekarang kelas dua SMU. Adiknya, 15 tahun, sekarang di madrasah tsanawiyah tingkat akhir. Kami adalah pembaca setia tulisan anda. Saya berharap, agar anda lebih sopan dalam menggunakan bahasa dalam tulisan anda. Karena anak saya masih kecil“.

Saya termenung. Takut untuk menulis. Saya sadar sepenuhnya, saya tidak pandai berbahasa.

Gemetar tangan ini, ketika pensil dalam genggaman sudah ada diatas kertas.

Walaupun sungguh sepenuh hati belajar, tetap saja bahasa Indonesia saya tidak mengalami kemajuan. Tiga minggu bergelut dengan rasa takut, akhirnya saya beranikan diri untuk menyalin tulisan melalui papan ketik AZERTY. Menulis dengan bahasa Cilincing. Menulis pengalaman masa kecil. Menulis apa yang ada di otak dan di hati.

Saya menulis, untuk melawan rasa takut. Saya menulis, untuk melawan lupa.

Dan akhirnya, ini tulisan saya. Judulnya Perawan Pantai Sampur. Sebuah kisah masa kecil saya ketika weekend di rumah kakek di Sampur, sebuah desa tetangga Cilincing.

Selamat menikmati cerita yang panjang ini. Hehe.

PERAWAN PANTAI SAMPUR

ilustrasi (sumber: kompasiana)

Waktu kecil, saya punya idola (sebab katanya setiap orang butuh idola, personifikasi pahlawan pribadi). Idola saya adalah Oman. Tetangga sebelah rumah kakek. Remaja tanggung yang baru beranjak dewasa.

Oman itu kakaknya Omat, teman saya. Sedangkan Omat itu, kakaknya Ojak. Orangtua mereka punya tabiat aneh, menamai anak dengan awalan aksara serupa.

Oman jadi idola, karena ia yang paling besar diantara kami. Dan kami hanya bisa menatapnya iri, ketika ia mencuri-curi minum bir milik Encang Engkos, paman saya, kakak laki-laki Ibu yang berkerja di sebuah instansi militer.

Setiap akhir minggu, saya dan adik saya, Gugun, menginap di rumah kakek di Sampur, tidak jauh dari Cilincing. Kami menyukai Sampur. Rumah kakek luas. Kakek saya pensiunan polisi, mencari nafkah dengan buka bengkel di samping rumah. Nama bengkelnya CV Haji Ali. Di depan rumah, jalan raya, setelah itu pagar kawat. Dibalik pagar, membentang laut, pangkalan kapal super besar pengangkut tepung terigu untuk BOGASARI, pabrik mie instan terbesar di Indonesia.

Kata kakek, orang Indonesia tidak suka mie instan. Mereka baru kenal mie instan, setelah pada tahun 70-an, Amerika menghadiahkan gandum luar biasa banyaknya ke Indonesia. Gandum itu, diolah kemudian menjadi mie instan yang dibantu distribusinya oleh negara. Ketika orang Indonesia mulai menyukai mie instan, sejak saat itu pula terjadi ketergantungan terhadap petani gandum Amerika.

Namun saya tidak suka berlama-lama bicara dengan kakek. Saya lebih suka nongkrong bersama Omat dan Gugun melihat Oman merokok. Kelihatannya enak sekali ia menikmati setiap hisapan tembakau itu. Kami iri. Kami juga mau menimati seperti yang ia tengah rasakan.

Nampaknya Oman sadar, mata kami semua tertuju pada rokoknya. “Mau nyobain?” ia bertanya sambil merogoh saku. Kami serempak mengangguk.

Ia melemparkan sebatang rokok ke arah kami. Gugun, yang bertangan paling sigap, meraup rokok tersebut digenggamannya. Matanya menatap Oman sekali lagi. Oman jengah.

+ “Itu… buat betiga. Lo kan masih pada kecil-kecil”
- “yaaahhh… Abang”
+ “…”
- “Bang Oman… Apinya dong”
+ “Sapa bilang boleh dibakar!”
- “Laah… Trus mao diapain dong nih rokok?”
+ “Isep aje terus ampe bego”


Saya, Omat dan Gugun menggerundel dalam hati. Tapi tidak berani melawan Oman yang sepertinya tidak menyukai ide anak kecil merokok. Aneh, bagaimana mungkin kami, anak kecil, tidak merokok ketika melihat idola kami merokok? Namun akhirnya, kami hompimpah. Pemenangnya berhak menghisap rokok pertama kali.

Gugun yang menang. Berteriak senang, namun terdiam. Ia menatap rokok dengan tatapan bingung. Menghisapnya. Lalu menatap bingung batang rokok itu lagi. Itu rokok, diputar-putar. Dipelintir. Dilihat dari berbagai sudut. Diamati secara seksama.

Hingga, setelah menjilat filternya, Gugun teriak gembira “Enak… Enak… Manis!”. Ia menemukan cara menikmati rokok tanpa membakarnya.

Sial, saya kalah, kebagian yang terakhir mencicipi. Akibat digigit-gigit Omat, filter rokok basah. Filter itu sudah mirip payudara nenek-nenek, tidak berbentuk, kendur dan menggelendot manja.

Saya menatap Oman penuh protes. Oman bertambah jengah.

+ “Mao apa lo rip! Harusnya sukur luh, udah gua kasih rokok!”
- “Yaaa Bang, pilternya udah kempot gini. Tuker dong”
+ “Cerewet lo!”
- “Tuker dong!”
+ “Bosen gue dengerin lo. Gini aja, gue punya ide bagus nih”
- “Apaan?”
+ “Lo mao liat jembut perawan ga?”
- “Hah, apaan tuh?”


Mata saya berbinar-binar, seperti koin yang baru saja dicelup coca-cola. Walaupun saya tidak mengerti apa maksud kata jembut dan perawan. Saya tetap bahagia. Sebab perawan pasti ada hubungannya dengan cewek-cewek. Hehehe.

Oman, bagaikan juru bicara kampanye, mulai memberikan instruksi. Setiap orang, pada tenggat waktu, pukul tujuh malam nanti, harus memberikan uang dua puluh lima rupiah kepadanya. Oman bilang, dengan seratus rupiah kami akan mendapat tiga batang korek api. Instruksi selanjutnya, nanti.

Pada pukul tujuh, kami ke pantai sampur. Disana, Oman bilang, tinggal seorang wanita yang dikenal sebagai perawan pantai Sampur.

Kami berempat, naik sepeda ke pantai Sampur. Hari sudah gelap. Laut berwarna hitam. Riak air memantulkan gemerlap cahaya bulan. Diantara pasir pantai, terpancang tonggak-tonggak pengikat kapal kayu. Di ujung pantai di jalan Dairi, terletak Yacht Club. Tempat kapal pesiar orang kaya Jakarta bersandar.

Oman berhenti.Ia melangkah maju, menuju deretan perahu yang terpancang dan berayun di atas air pantai. Kakinya terus melangkah, hingga terbenam air selutut. Lalu lompat ke arah salah satu perahu. Dan ia menghilang di remangnya perahu malam.

Saya, Gugun, dan Omat menghela napas. Tidak tahu apa yang akan terjadi.

Tidak lama kemudian. Oman loncat lagi ke air, berjalan ke arah kami. Di belakangnya, bayangan hitam. Lebih tinggi. Dalam remang malam, kami tahu, itu perempuan.

Oman lalu berbisik kepada kami. Jangan ada yang bicara. Sebab mereka akan bertemu dengan Perawan Pantai Sampur. Begitulah sebutan para awak kapal kayu pencari ikan kepada perempuan itu. Oman bilang, ia yang akan jadi juru bicara kami.

Perempuan itu tiba di hadapan kami. Di luar pagar sudut Yacht Club. Saya tidak bisa mendeskripsikannya. Malam terlalu gelap.

Di sudut lain, kami yakin ada beberapa pasangan. Tidak yakin mereka bicara apa. Yang terdengar hanya bunyi clepak-clepok. Bunyi yang aneh. (*sekarang, saya tahu sumber bunyi itu dan darimana asalnya, hehe*)

Perempuan itu memandang kami. Ia kaget dihadapannya ada satu remaja tanggung dan tiga anak kecil.

- “Lo tau kan peraturannya. Cepek itu tiga batang?” (*cepek=seratus*)
+ “Iya… Iyaa… Gue tau. Udah cepet buruan!”
- “Kalo Nopek, lo boleh grepe-grepe” (*nopek=dua ratus*)
+ “Eeh… Eeehh… Kalo itu gue ga tau…”
- “Kalo gopek. Lo boleh nyoblos. Ini paling enak” (gopek=lima ratus*)
+ “… eeehh ….eeehhhh …ga ada lagi. Cuman segitu duitnya”


Oman menunduk malu. Namun, perawan Sampur tidak peduli. Ia mengajak kami lebih ke sudut. Mengeluarkan korek api kayu tiga batang. Korek api pertama ia nyalakan.

Dengan tangan kiri, ia memegang korek api yang menyala. Tangan kanan, menarik kausnya keatas.

Astaga ternyata ia tidak pakai beha. Wow! Cihuyyy!

Saya meneguk ludah memandangi isi kausnya. Nampaknya Omat, Gugun dan Oman juga melakukan hal yang sama.

Namun pemandangan dua bukit ajaib di balik kaus itu tidak berlangsung lama. Korek api cepat sekali dibakar oleh tiupan angin pantai.

Korek api kedua dinyalakan. Kali ini, perawan Sampur menyingkap roknya tinggi-tinggi keatas.

Dalam keremangan malam dan dibawah temaram sinar bulan, saya masih mampu melihat cahaya korek api diantara mata-mata kecil yang terbelalak kaget. Mata yang baru pertama kali dalam hidupnya melihat bulu gondrong hitam kribo menjalar kemana-mana di area selangkangan.

Hanya dalam tempo hitungan detik. Korek api kedua tandas dimakan angin.

Saya protes… Tidak jelas. Kurang deket. Perawan Sampur misuh-misuh.

Kali ini. Korek ketiga dinyalakan. Mata kami sudah membelalak gembira. Sebab kali ini kami sudah tahu, apa yang harus dilihat. CESSS… Korek api batang sulfur itu menyala.

Perawan Sampur mendekatkan korek ketiga, ke arah selangkangannya. Mata kami, dalam tempo sesingkat-singkatnya dan sejelas-jelas sekarang memandangi lautan rambut tersebut. WOHOOOO…!

Tiba-tiba angin pantai bertiup lebih keras ke arah sudut tempat kami berdiri. Api bergoyang keras.

Menyambar ke arah rambut bagian bawah perawan Sampur.

Astaga! Api itu merambat dari satu rambut ke rambut lainnya.

Perawan Sampur berteriak kaget. Ia melolong dan meloncat-loncat. Menepuk-nepuk selangkangannya yang berkobar-kobar. Lalu, masih teriak-teriak. Lari secepat kilat ke arah laut. Memadamkan api di selangkangannya.

Perawan Sampur, jembutnya terbakar.

Kami, sambil ketawa-ketiwi, juga lari. Ke arah sepeda. Kabur. Takut dipukulin satpam yang berlari ke arah kami.

BLARRRR!!!

Tiba-tiba terdengar bunyi ledakan keras sekali.

Dari ujung jalan. Di depan Yacht Club. Sebuah panser merembet maju. Tiba-tiba terdengar lagi banyak bunyi ledakan. Lalu disusul oleh rentetan bunyi senapan otomatis di udara.

Secepat kilat kami mengayuh sepeda menuju rumah. Namun sial. Di ujung jalan. Ada barikade kawat berduri menghalang. Kami mengayuh sepeda berputar, ke arah Kober, pekuburan warga setempat.

Tiba-tiba, sepanjang jalan berubah bagaikan neraka. Di ujung jalan, setelah kuburan, terlihat Apotik Priok meledak dan terbakar. Malam ini berubah menjadi mimpî buruk yang nyata.

Di arah utara, laki-laki dewasa, berlarian di jalan seraya berteriak Allahu Akbar dengan sekeras-kerasnya. Mata mereka nyalang. Di tangan mereka, teracung golok seperti akan menghunjam udara.

Di selatan kuburan, terlihat orang berpakaian loreng-loreng menembakkan senjatanya ke udara. Api berkobar dimana-mana.

Rumah-rumah buruh pelabuhan di sekitar kuburan membara terbakar dimakan api.

Astaga, kami ada di tengah zona pertempuran!

Sepeda kami tinggalkan. Kami lari menuju rumah. Di rumah, wajah kakek keruh. Ibu terlihat luar biasa gembira, melihat saya dan Gugun selamat.

Situasi rumah kakek sungguh aneh. Kakek, walaupun sudah pensiun, memakai seragamnya. Encang Engkos, juga pakai seragam. Ia menyandang senjata. Bersama Encang-encang saya lainnya, mereka menjaga pagar depan rumah.

Di dalam rumah, lebih aneh lagi. Banyak orang. Tetangga-tetangga saya. Ada Koh Ahseng yang memeluk istrinya. Ada Enci Anyan beserta anak-anaknya. Aneh, kenapa keluarganya Oman nggak ada? Saya bertanya pada Ibu. Ibu menjawab “Mereka bukan Cina. Jadi nggak bakal diapa-apain”.

Ibu melarang kami keluar. Namun saya dan Gugun masih memikirkan sepeda yang kami tinggalkan di Kober. Kami takut sepeda itu dicuri orang. Saya lebih takut dimarahi Ibu kalau sepeda itu hilang. Sebab sepeda itu, sepeda BMX berwarna merah, adalah sepeda pertama yang saya dapatkan dari uang kenduri ketika saya disunat.

Saya sudah bertekad, sepeda itu harus kembali. Saya sudah menukar segumpal ujung daging di tubuh demi sepeda itu.

Pura-pura ke WC. Saya lari menuju Kober. Dalam gelapnya malam. Tersandung-sandung kuburan. Mencari sepeda saya yang tertinggal.

BLARRR!!!

Suara ledakan terdengar memekakkan telinga. Saya merunduk diantara nisan-nisan kuburan. Mengintip apa yang sedang terjadi.

Dalam gelapnya malam, cahaya api dari rumah yang terbakar tidak mampu menyembunyikan sosok Oman yang ikut-ikutan gerombolan massa berteriak-teriak Allahu Akbar di luar pagar kuburan. Ia tidak memegang golok. Hanya ikut-ikutan orang dewasa lainnya.

Mulutnya lantang teriak Allahu Akbar berulang kali.

Saya teriak-teriak memanggil Oman, namun sepertinya ia tidak mendengar.

Dari ujung jalan lainnya, segerombolan orang berpakaian loreng-loreng muncul. Mereka bertemu. Oman berteriak keras “ALLAAHUU AKBAAARRR” dan lari menerjang gerombolan loreng.

Mata saya tak berkedip ketika cahaya kobaran api memperlihatkan salah seorang loreng membidikkan laras senapannya ke arah Oman.

BLAMM!!! Cahaya terpancar dari ujung laras.

Oman tersungkur. Jatuh. Memegang dadanya, menghunjam bumi. Oman bersimbah darah meregang nyawa.

Di belakang gerombolan loreng itu. Ada truk besar. Saya lihat, tubuh Oman yang terkapar mengerang ajal, dilemparkan oleh dua orang loreng ke dalam truk.

Oman dilemparkan begitu saja. Seperti kambing kurban yang baru disembelih ketika Idul Adha. Mereka tidak hanya memungut tubuh Oman, melainkan tubuh-tubuh lainnya yang terlentang penuh luka di Jalan Dairi. Hidup atau mati. Dilemparkan ke dalam truk itu.

Di belakang truk, ada mobil blanwir, pemadam kebakaran. Merah dan berkilat di timpa cahaya api yang berkobar-kobar disepanjang jalan. Dengan selangnya, mobil itu menyemprot sisa darah di jalan-jalan. Menghilangkan sisa kekejaman terhadap Oman. Air itu, mereka anggap mampu menyucikan darah Oman yang tertumpah sia-sia.

Malam itu, 12 September 1984. Saya mengayuh sepeda cepat-cepat menuju rumah. Lari sejauh-jauhnya dari ladang pembantaian warga kampung. Lari sejauh-jauhnya dari kepengecutan saya yang tidak mampu membela Oman.

Sejak malam itu. Saya tidak pernah membicarakan Oman. Ia seperti larut dalam kenangan yang memualkan perut saya. Kenangan atas kepengecutan saya.

Malam itu, sepertinya terlupakan. Walaupun wajah kakek bertambah keruh ketika Encang Engkos dikeluarkan dari pekerjaannya. Kata Ibu, “Cang Engkos katanya udah nggak cocok lagi pake seragam gara-gara ga dines waktu temen-temennya maranin kampung kita“.

Lalu, tidak lama kemudian, Cang Engkos jadi satpam Yacht Club. Pemiliknya, teman kakek, pura-pura buta, memperkerjakan mantan ‘anggota’ yang punya tiga buletan kecil di ujung kanan KTP-nya. Tanda tidak bersih diri.

Sejak malam itu, sepertinya setiap orang bisu. Wak Alim dan Mpok Asih, tidak pernah mempertanyakan pada tetangga-tetangga, tentang hilangnya Oman, anak mereka. Sejak malam itu, Omat dan Ojak tidak pernah lagi berteman dengan kami. Mereka pindah sekolah ke Bogor.

Sejak malam itu, hingga malam-malam beberapa minggu lalu, saya masih saja bermimpi buruk. Tentang kilatan api, nisan, dan Oman yang jatuh menghunjam bumi.

Saya sadar sepenuhnya. Menulis ini, tidak akan membuat Oman kembali.

Dan saya juga sadar sepenuhnya, bahwa sudah ada orang yang bicara, bahwa malam terkutuk itu adalah malam penuh dosa.

Dan saya juga sadar sepenuhnya, bahwa sudah ada pengadilan untuk mencari keadilan atas apa yang terjadi di malam itu. Walaupun hasilnya tidak ada seorangpun yang bertanggung jawab atau harus dihukum atas kejahatan mereka terhadap Oman yang hingga kini tidak diketahui dimana kuburannya.


Namun saya tetap menulis.

Saya menulis, untuk melawan rasa takut. Saya menulis, untuk melawan lupa.

Walaupun saya menulis, sambil meneteskan air mata. 

Ditulis oleh Arif Kurniawan. Sumber tulisan asli dapat dibaca pada:
http://arifkurniawan.wordpress.com/2007/08/02/perawan-pantai-sampur/

Selasa, 15 Mei 2012

Manusia Kerdil Bone

Manusia Kerdil Bone, Siapakah Mereka?


Salah satu dinding goa yang diduga menjadi perkampungan suku Oni, manusia kerdil di pedalaman hutan belantara Bone, Sulawesi Selatan. Senin,(07/05/2012)

BONE, KOMPAS.com — Orang-orang berukuran kerdil ternyata tidak hanya dikenal di wilayah Kerinci Seblat, Sumatera Barat; atau Liang Bua di Flores. Bila di Kerinci mereka dikenal sebagai "orang pendek", di Flores sebagai Homo floresiensis, maka fenomena orang kerdil di Bone, Sulawesi Selatan, dikenal sebagai "Suku Oni."

Cerita mengenai keberadaan orang-orang kerdil yang hidup di gua-gua di tengah hutan ini masih simpang siur. Sebagian warga yang bermukim di sekitar pegunungan Bone menjuluki mereka sebagai makhluk setengah siluman karena sulit dijumpai dan bisa tiba-tiba menghilang dalam kerimbunan hutan. Namun ada juga yang menganggapnya sebagai makhluk biasa yang sama dengan manusia pada umumnya, hanya secara fisik lebih kecil.

Adjiep Padinding, budayawan yang juga anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sulawesi Selatan (DPRD Sulawesi Selatan) menuturkan, Suku Oni dahulu dikenal sebagai orang-orang yang sangat baik dan mau bergaul dengan warga Dusun Dekko. "Dulu itu kalau ada warga yang mau adakan pesta perkawinan, selalu pinjam perabot dari Suku Oni, seperti piring, mangkuk, dan yang lainnya. Tapi karena warga peminjam sering tak jujur, hubungan baik itu tidak berlanjut," katanya.

Warga yang dipinjami perabot, menurut Adjiep, sering kali tidak mengembalikan barang-barang yang disebutkan sangat bagus. Akibat ketidakpercayaan itu, anggota Suku Oni membatasi pergaulan dengan warga desa.

Keberadaan Suku Oni pertama kali diungkapkan oleh Ahmad Lukman, mantan Kepala Desa Mappesangka. Ia mengaku pernah berjumpa dengan orang-orang yang tingginya hanya sekitar 70 cm ini, bahkan ia mengaku pernah mengunjungi tempat tinggal mereka di dalam gua, di kawasan hutan Tanjung Palette.

"Waktu terpilih menjadi kepala desa untuk pertama kalinya, sekitar 17 tahun lalu, saya diundang oleh Kepala Suku Oni masuk ke dalam perkampungan mereka. Untuk mencapai permukiman itu, kita harus berjalan sekitar 3 kilometer. Saat hendak masuk memang agak sulit karena mulut guanya sangat kecil, hanya bisa dilalui orang kerdil. Tapi di dalam gua, keadaannya sudah berbeda, terlihat sangat luas, bahkan bertingkat-tingkat," urai Lukman.

Lukman mengatakan, tidak sembarangan orang diperbolehkan masuk ke dalam gua ini. Mereka yang ingin masuk harus melalui seorang perantara dan harus orang yang tak punya niat jahat. Masih menurut Lukman, bahasa yang digunakan suku ini berbeda dengan bahasa kampung sekitarnya sehingga komunikasi tidak mudah dilakukan.

Cerita lain menyebutkan, Suku Oni bisa "dipancing" keluar dari tempat persembunyiannya menggunakan buah pisang yang diletakkan di mulut gua. Namun, beberapa orang yang mencoba cara ini tidak mendapati kehadiran mereka.

Apakah Suku Oni benar ada? Seperti halnya kisah "orang pendek" di Kerinci, belum ada bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa mereka benar-benar ada. Keberadaan mereka hanya diketahui dari cerita warga yang mengaku pernah melihatnya.

"Saya sering dapat laporan dari warga bahwa kalau malam-malam ada orang kecil bawa obor dan ambil air di sumur," ujar Amrullah, mantan Kepala Kelurahan Palette, yang kini menjabat Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Dinas Sosial Kabupaten Bone, Selasa (8/5/2012).

Siapakah mereka, tidak ada yang tahu.

Abdul Haq | A. Wisnubrata | Rabu, 9 Mei 2012 | 10:00 WIB

Rabu, 09 Mei 2012

Ulang Tahun Mba Srilinda, 8 Mei 2012

Urban Legend Time: Ternak Yang Mati Misterius di Banyumas

Hii! Ternak Warga Banyumas Mati Misterius, Isi Perut Terurai

Banyumas Warga Desa Kebocoran, Kedungbanteng, Banyumas, Jawa Tengah kembali dikejutkan dengan matinya seekor kambing secara misterius dengan isi perut yang terurai.

Sebelumnya, Selasa (1/5) lalu, dua ekor kambing yang berada di dalam kandang di desa tersebut juga mati secara misterius.

"Dua ekor kambing yang mati sebelumnya Hanya hati dan jantungnya saja yang hilang. Tapi kali ini berbeda, badan kambing terbelah menjadi dua bagian dan jeroan kambing terurai keluar," kata pemilik kambing, Muji Kislam kepada wartawan Selasa (8/5/2012).

Menurut dia, Anehnya tidak ada ceceran darah di sekitar kandang seperti layaknya hewan yang disembelih.

Justru kandang kambing ditemukan dalam keadaan utuh dan pintu kandang pun masih tertutup. Untuk mengantisipasi hal yang tak diinginkan, bangkai kambing itu langsung dikuburkan.

Tidak jauh dari kandang, warga masyarakat juga mendapati jejak satu kaki yang mirip anjing, namun berukuran lebih besar. Warga menduga pemangsa kambing itu adalah makhluk halus jadi-jadian.

"Kambingnya masih ada saat saya memberi makan sekitar pukul 06.00 WIB. Namun, sekitar pukul 12.00 WIB, saat akan diberi makan lagi kambingnya sudah dalam keadaan mati," jelasnya.

Dia mengakui, kambing yang mati tersebut sengaja dipasang setelah kejadian dua kambing yang mati sebelumnya. Hal ini dia lakukan untuk menjebak pelaku aslinya.

"Padahal tiap malam setelah kejadian minggu lalu selalu di jaga, kok malah kejadiannya sekarang siang hari," ungkapnya.

Dia pun mengaku akan menjebak pelaku dengan mendatangkan dua ekor kambing lagi. Hal tersebut dia lakukan karena pelaku sudah sangat meresahkan warga.

"Saya akan pasang jebakan terus sampai tertangkap" tambahnya.

Sementara itu, sejak kejadian satu minggu lalu, warga menggencarkan penjagaan di pos ronda. Bukan hanya warga masyarakat saja, namun juga dari kepolisian, salah satu titik pengamanan adalah di lokasi kandang tempat penjebakan.

(arb/ahy)

arb - detikNews
DetikCom | Rabu, 09/05/2012 01:15 WIB


sumber: forumnusantara.net


Puluhan Kambing Mati Misterius, Perutnya Robek

ANTARA Jateng - Sebanyak 32 kambing milik warga sejumlah desa di Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas, mati secara misterius selama dua bulan terakhir dengan tanda-tanda bagian perut habis seperti dimakan binatang buas.

"Tadi pagi saya masih memberi pakan, namun siang harinya kambing itu sudah mati dengan kondisi perut robek dan isinya habis seperti dimakan binatang buas," kata seorang pemilik kambing, Muji Mislam, di Desa Kebocoran, Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas, di Banyumas, Selasa.

Dia mengaku belum tahu secara pasti jenis binatang yang membunuh satu ekor kambing miliknya.

Warga lainnya, Slamet Riyadi, mengaku melihat bekas telapak kaki binatang di sekitar kandang yang diduga sebagai jejak kaki harimau karena ukurannya lebih besar dibandingkan dengan anjing.

"Kebetulan kandang kambing Pak Muji tidak jauh dari rumah saya, hanya berjarak sekitar 200 meter. Minggu lalu juga ada kambing yang mati dengan luka yang sama," katanya.

Menurut dia, di desa itu sudah ada tiga kambing yang mati dengan luka yang sama.

Selain di Desa Kebocoran, sebanyak 15 ekor kambing milik warga Desa Beji dan lima kambing milik warga Desa Karangnangka juga mati dengan kondisi perut robek dan isinya habis seperti dimakan binatang buas.

Kepala Desa Beji, Ibnu Sukamto, menduga kematian kambing-kambing tersebut akibat serangan binatang buas yang sebagian besar terjadi pada malam hari.

"Binatang tersebut hanya menggigit dan mengisap darah ternak. Sementara tubuhnya masih utuh," katanya.

Menurut dia, pada Minggu (15/4) ada enam kambing di desa itu yang mati dalam waktu satu malam, yakni empat kambing milik Samsuri dan dua milik Tohirin.

Ia mengatakan, warga bersama anggota Perlindungan Masyarakat (Linmas) ronda malam guna mengantisipasi serangan binatang buas tersebut terhadap ternak di desa itu.

Akan tetapi, hingga saat ini binatang buas yang meresahkan warga belum bisa ditangkap.

Oleh karena itu, katanya, beberapa warga menduga jika kematian puluhan kambing di Kecamatan Kedungbanteng itu disebabkan ulah orang yang sedang mempelajari ilmu hitam atau mencari kekayaan dengan persyaratan mengisap darah dan memakan isi perut kambing.

Pewarta : Sumarwoto
Penyunting : Achmad Zaenal M

antarajateng.com | Selasa, 08 Mei 2012 17:46:19  WIB

Sabtu, 28 April 2012

Policy Services Gathering with Mrs Fitri

This was at Gandaria City, unce upon a time

Nonton Konser Kantata Takwa di GBK, 30 Desember 2011


Ikbal Embay and I just after the concert ends. Photo was taken by Mrs Cylke Atwir.

Selasa, 20 Maret 2012

Selasa, 28 Februari 2012

Rabu, 18 Januari 2012

Formula Kesuksesan Guns N' Roses Menurut Steven Adler

Oleh: Reno Nismara

Steven Adler, eks drummer Guns N Roses (Foto: Steven Adler MySpace Site)

Jakarta - “Kesuksesan Guns N' Roses datang dari fakta bahwa setiap personelnya menyukai jenis musik yang berbeda-beda. Saya menyukai pop, disko '70-an dan saya juga sangat terpengaruh oleh Queen. Izzy Stradlin dipengaruhi oleh The Stooges, New York Dolls, dan Sex Pistols. Duff McKagan sangat menyukai Black Flag dan segala macam hardcore punk yang asli. Axl Rose menyukai Queen, Elton John, dan musik-musik semacam itu. Sementara band kesukaan Slash adalah Aerosmith dan Led Zeppelin. Jadi [kesuksesan] itu terjadi karena percampuran dari perbedaan-perbedaan yang kami miliki. Kami menggabungkannya dengan sangat baik. Dan percayalah, hal tersebut sangat susah dicari. Sekarang saya sedang merasakannya dengan band baru saya, Adler's Appetite. Adalah hal tersulit di dunia untuk menemukan empat atau lima pria yang benar-benar bisa hidup bersama, bekerja bersama, dan membuat keajaiban bersama sekaligus,” jelas Steve Adler panjang lebar ketika ditanyakan mengenai formula rahasia kesuksesan Guns N' Roses.

Adler juga sempat mengatakan kepada The Jewish Chronicle baru-baru ini bahwa alasan kesuksesan Guns N' Roses adalah karena suatu hal spesial yang dimiliki kelima personel Guns N’ Roses.

“Kami memiliki ikatan. Tak peduli berapa banyak omong kosong yang ada selama bertahun-tahun, ada satu hal yang Axl dan pengacaranya tidak akan pernah bisa ambil, dan hal tersebut merupakan sebuah kenyataan bahwa kami adalah lima saudara yang meraih impian yang kami miliki sebelum kami pantas disebut sebagai remaja. Dan apa yang dilakukan terbaik oleh saudara? Mereka bertengkar satu sama lain! Saya tidak membenci mereka sekarang. Luka saya telah sembuh. Sayangnya, Axl dan Slash tidak berbicara. Setiap hari mereka tidak berbicara adalah satu hari keajaiban tidak diciptakan. Walau kami hanya melakukan satu tur, satu album, satu lagu bersama, dewa-dewa ingin mendengarnya,” ujar Steve Adler dengan penuh semangat dan sedikit rasa sesal.

Steve Adler juga sempat mengutarakan keinginannya untuk melakukan konser reuni lineup klasik Guns N' Roses kepada North Hollywood – Toluca Lake Patch dengan berkata: “Saya menerima banyak cinta dari orang-orang di seluruh dunia. Saya telah mendengar 'Appetite for Destruction adalah soundtrack hidup saya' dalam berbagai macam bahasa. Belum lagi uang yang bisa kami dapatkan. Reuni ini bisa menghasilkan miliaran dollar. Yang harus kami lakukan hanyalah naik ke atas panggung dengan satu sama lain selama 90 menit. Dan saya mau menyelesaikan apa yang telah saya mulai. Terima kasih, Tuhan, karena telah menempatkan orang-orang tolol ini di hidup saya.”
(RS/RS)


http://rollingstone.co.id Rabu, 06/04/2011 07:57 WIB